blog edit

Senin, 01 Februari 2021

Gagah Dipandang, Ngilu di Pinggang ~

BAGI saya, memiliki mobil Suzuki Katana boleh dikata sebagai tersampainya mimpi di masa lalu. Ya, masa lalu yang saya maksud disini ketika pasca reformasi mengguncang negeri, saat itu saya masih belum tamat dari sekolah dasar. Berbekas sekali dalam ingatan, entah mengapa saya meyakini suatu saat nanti bisa memiliki mobil Suzuki Katana yang tamvan pada djamannya. 
Kesan gagah hingga kini masih melekat pada mobil semi jip keluaran Suzuki itu. Waktu kecil, sayangnya saya tak punya kesempatan untuk bisa menaiki mobil ini karena keluarga kami memang berlatar belakang dari ekonomi bawah. Satu - satunya kesempatan pengalaman luar biasa mencicip gagahnya kenderaan ini lewat alam bawah sadar bernama mimpi. 

Singkat kisah, penghujung tahun 2018 lalu isteri saya menelpon kalau bapak (mertua saya) tengah melihat-melihat mobil katana yang ditawar seorang kenalan agen.

"Uang ayah ada berapa, nanti ditambahin dulu sama Bapak. Ini ada Katana masih bagus. Cocok lah untuk kita, yang penting bisa bawa jalan anak-anak gak kehujanan atau kepanasan," kata isteri saya dalam sambungan telepon.

Saya tak langsung meng-iyakan. Karena saat itu memang benar benar tak punya banyak tabungan simpanan. Setelah berdiskusi panjang dengan isteri, berdalih hanya karena mengelak terhindar dari panas - hujan dan bisa menyenangkan hati dua anak kami yang masih balita. 

Kami mengumpulkan sia sia keuangan yang ada. Dengan sisa perjuangan yang ada ditambah subsidi segar dari kocek mertua, jadilah Katana GX keluaran tahun 1996, berwarna putih, sore itu juga dimahar pada angka 40 juta lebih. Sejujurnya saya juga saat itu masih tak percaya, bisa memiliki mobil. Apalagi Suzuki katana yang pada masa saya belum kencing lurus pernah saya mimpikan. 

Memiliki mobil tua sudah pasti butuh perawatan ekstra. Ada saja sakit batuk, pilek yang dihadapi mesin. Paling penting merawat sabar. Sebab tak jarang ketika kita habis memperbaiki masalah yang satu, lalu timbul soal pada bagian lainnya. Namun jangan khawatir, untuk suku cadang kenderaan ini sangat berlimpah dan ramai dijual selagi masih banyak angkutan kota (angkot) berjenis Suzuki Carry ST100 masih ramai berkeliaran. 

Menunggangi kenderaan ini tentu saja anda tak boleh berekpestasi lebih jika berada di dalamnya untuk ukuran kenyamanan. Kecuali mungkin pada beberapa mobil Katana yang telah dimodifikasi sesuai dengan selera isi kantong pemiliknya. Supensinya yang agak kasar siap membuat penumpang agak pontang panting dibelakang stir kemudinya. 

Tentu saja bagi kalangan orang berduit, memiliki kenderaan lawas sekaliber Katana ada asalan tersendiri bagi mereka mungkin salah satunya alasan historis maupun emosional dengan kenderaan ini di masa dahulu. Begitu pula bagi saya, hanya saja bedanya saya harus berjuang keras untuk mendapatkan kenderaan ini. 

Saya tak begitu sering memakai Katana yang saya punya untuk aktifitas harian. Lebih banyak sebagai fasilitas antar jemput anak anak dari rumah kami menuju kediaman rumah neneknya yang berjarang kurang lebih 15 KM. Untuk perjalanan dalam kota di Bumi Rambate Rata Raya, membawa Katana boleh jadi satu kebanggaan di jalanan.

Barangkali banyak orang di luar sana yang kepingin memiliki tapi belum punya kesempatan menaikinya, jika sebenarnya mereka tahu, Suzuki Katana ini memang ... "Gagah Dipandang, Nyiksa di Pinggang". 


#SalamTigaPintu

Sabtu, 17 Agustus 2019

Ironi Warga Bukit Kijang Asahan, Tak Merdeka dari Gelap di HUT RI ke 74


- Waktu orang Jakarta heboh teriak mati lampu, mungkin masyarakat Sumatera Utara sedang menertawakan mereka. Kok keknya cengeng kali. Baru sehari dapat pemadaman listrik hebohnya bukan main. Sampai sampai Presiden Jokowi menegur langsung pimpinan PLN nya.

Hebohnya juga sampai jagat selebriti yang gak mau ketinggalan. Raffi Ahcmad dan keluarga sampai ngungsi ke Singapore dan jadi trending topik gak penting seharian dijagat maya.

Setelah itu muncul tagar ramai di medsos menuntut kompensasi pemadaman listrik ke PLN. Ih, cem betul aja lah.
Kondisi mati lampu kemarin, sebenarnya kita sudah memaklumi kalau rakyat Indonesia itu, kiblatnya masih warga Jakarta dan sekitarnya. Itu pasti.



foto : Anak anak di Dusun Bukit Kijang belajar mengaji menggunakan lampu minyak. / Foto.Rudianto

Padahal persoalan krisis listrik ini banyak terjadi diberbagai daerah di Indonesia, Sumatera Utara misalnya. Tanah Naga Bonar ini terhitung lebih dari 15 tahun defisit. Pembangkitnya berusia gaek dan setiap tahun tak pernah bisa mengimbangi peningkatan kebutuhan listrik masyarakatnya.

Mati lampu bagi kami yang di Sumut ini cukup ditanggapi slow selow aja. Meski tiap ada pemadaman sesekali memaki dalam hati juga.

***

Jauh dari Ibu Kota, persoalan listrik juga dialami oleh warga dusun III Bukit Kijang Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning Kabupaten Asahan. Lima puluh tahun lebih lamanya kampung itu dihuni manusia selama itupula tak pernah ada pembangunan listrik disana. Kondisi warga Bukit Kijang cepat viral setelah ramai di follow up media media.

Sekitar sembilan lalu, warga kampung ini sempat merasakan bantuan mesin genset dari PNPM yang pembelian bahan bakar solarnya saja bisa habisin duit Rp 400 ribu per minggu dengan jam operasional listrik hidup mulai magrib sampai pukul 10 malam. Dana itu dikutip swadaya oleh masyarakat. Tak sampai dua tahun genset rusak dan tak pernah bisa dipakai lagi.

Kampung ini memang letaknya jauh terpelosok dari Kisaran Ibukota Kabupaten Asahan. Berada ditengah area perkebunan milik PT PP Lonsum. Tiap tahun perjuangan warga desa ini mengalir tiada henti. Menuntut merdeka dari gelap.

Mereka terus mengusulkan usulan pembangunan lewat Musrenbang mulai dari tingkat desa. Tapi entah mengapa bolak balik usulan itu gembos ditengah jalan. Tak sampai pada eksekusi penyediaan listrik sesuai harapan warga disana.


Ironi warga Bukit Kijang yang hari ini masih mengharapkan kemerdekaan dari gelap. Upaya demi upaya sudah dilakukan. Terakhir Pemkab Asahan beralasan kompensasi ganti rugi sebesar 600 juta rupiah lebih yang diminta pihak perkebunan dianggap terlalu membebani APBD untuk menebang serta mengosongkan area lahan disana yang akan dipasang tiang tiang listrik.

Lah bukannya selama ini ada CSR dari perkebunan? Terus anggota DPRD yang dari daerah sono kemarin pada kemana aja ? Memuakkanlah pokoknya ! Wajarlah nettizen nge-gass!

Banyak orang yang murka luar biasa melihat kondisi ini. Mengapa dari jaman dulu tak pernah ada solusi. Jika biaya menghadirkan operasional listrik mahal jadi alasan, bisa jadi memunculkan solusi alternatip menghadirkan panel listrik bertenaga matahari (Surya) melalui instansi dinas terkait. Bisa kan?

Wajar warga Bukit Kijang teriak teriak belum merdeka. Mereka Murka Luar Binasaaaa !!! Aktivis aktivis juga ikut geram. Pemerintah tak hadir disana.

Puuun… , aksi demonstrasi kelompok aktivis pemuda di DPRD Asahan bertepatan dengan Paripurna Istimewa HUT RI yang jawab Pak Kapolres kok. Padahal urusan Bukit Kijang gak ada sangkut pautnya dengan kondisi Kamtibmas disana. Heuheu…

Oh, Pak Pe-el-te Terhormat… Awak bukan ngajarin ya. Tapi barangkali anda tau. Maap ini beribu maap.

Bukit Kijang itu seksi dijadikan "jualan politik" jelang 2020. Ketimbang bangun mall mall pelayanan yang ujug-ujug dimunculkan itu. Hehe....

Gak caya tes lah! Mudah mudahan simpati rakyat mengalir untuk anda. Berbuatlah secepatnya. Merdekakan warga Bukit Kijang dari gelap.

Gak kesian apa, anak anak belajar dan ngaji dalam gulita. Kek mana Bumi Rambate Rata Raya ini bisa RSCM.

Merdekaaahh !!!

Perdana Ramadhan - 17 Agustus 2019 dibawah terik panas dalam lapo teh manis Pak Yantooo.... //
:)

Selasa, 13 Agustus 2019

Melacak Jalan Mantan Aktivis Mahasiswa Lepas Kuliah



~ Hidup mahasiswa! Pekikan lantang ini biasa digaungkan dari kakak kakak senior diera perkenalan mahasiswa baru saat mereka tampil heroik dengan latar belakang wawasannya dihadapan cama.

Itu, diantara mereka ada paling vokal. Punya kharisma biasa di luar, berwawasan luas. Menguasai panggung. Biasanya jumlah mereka tak banyak. Minoritas. Pemekik anti kemapanan. Bacaannya berhaluan kiri. Hapal luar kepala teori teori Karl Max, punya buku buku teori revolusi berhaluan komunis semisal Fidel Castro atau Che Guevara.

Kelompok ini paling laik disebut aktivis mahasiswa. Biasanya lahir dari eksistensi organisasi ekstra kampus yang diturunkan oleh seniornya terdahulu dijadikan panutan.

Barang tentu debat debat table tiap hari jadi santapan manalaka mendiskusikan hal hal kecil diluar sudut pandang orang kebanyakan. Itu kelebihan mereka dan iklim yang harus tetap diciptakan. Penyandang label aktivis mahasiswa terbiasa menciptakan nalar pikir diluar sudut pandang orang biasa. Panggung aspirasi mereka lewat demonstrasi turun jalan. Tak hanya pemikir, aktivis kampus juga lihai berorasi bebas. Menyampaikan isi kepalanya lewat megaphone ala ala demonstran reformasi.



Demokrasi dalam kampus jadi panggung yang dinanti. Perebutan pucuk pimpinan ketua diberbagai lini jadi pertaruhan jurus untuk adu kekuatan otak, stategi, nasib hingga anggar keras tegang otot leher. Biasanya selalu dibimbing abang abang senior dari luar arena.

Dialetika dan jalan hidup mereka dalam kampus sepertinya terlalu rumit dan selalu rumit bahkan terkesan dicipta ciptakan. Tapi banyak sekali yang menikmati proses ini. Karenanya tak jarang kebanyakan (mungkin) penyelesaian tugas akademiknya melebihi jumlah semester yang disiapkan. Bisa 10 - 12 bahkan 14 semester malah.

Entahkn terlmpau menikmati proses, golongan cukup dimaklumi untuk bisa tamat dari kampusnya. Penyusunan skripsi yang menjadi rintangan akhir selalu menjadi rentang waktu yang panjang. Banyak yang berleha leha untuk mengejar wisuda. Sebagahian kecil (mungkin) bagi aktivis entah mengapa begitu menikmati proses ini ketimbang mengejar gelar akademik sarjana.

Haha... tidak semudah itu ferguso !

Sebagaian besar aktivis tahu persis situasi ini. Oke, anggaplah proses rumit tadi akhirnya menamatkan mereka. Tamat kuliah. Lalu kemana kita ? (Mereka)?

Enggak. Sekali lagi golongan ini anti kemapaman. Oke?!.

Sedikit sekali bahkan jarang kelompok ini melirik peluang sebagai abdi negara dalam korps pegawai ngerii. Lalu ?

Bukan mentang mentang fresh graduate dengan lampiran CV di pengalaman organisasi yang lebih panjang dari riwayat daftar hidup mereka bisa melanggeng kerja di perusahaan ternama, dan minta digaji Rp 8 juta sebulan. Eh?!

Biasanya ya. Ini biasanya - HRD yang membaca CV CV mentereng tadi akan lebih mempertimbangkan mantan pentolan aktivis mahasiswa ini untuk bergabung di perusahaan mereka. Pikir radikalnya sekali lagi bisa jadi ancaman merusak sendi sendi organisasi perusahaan. Heuheu...

Oke kemana mantan aktivis ini lagi ? Ada yang lebih memilih menjaga idealisnya. Merawat nalar pikir dengan mengejar atau melanjutkan pendidikan jalur bea siswa dengan segala peluang yang ada. Kuliah lanjut S2, bisa jadi tenaga pengajar di kampus atau sekolah.

Atau ada juga yang malah terlanjur berkiblat pada satu dua senior yang boleh dianggap jadi panutan.

Ada senior punya kantor dan berserikat Law Office maka pandai pandailah tangkap peluang disana. Bantu bantu selesaikan perkara atau menambah perkaranya.

Misal punya senior yang sukses di Politisi pelan pelan ikut rekam terbang jejaknya. Maju dalam kontestasi politik. Jadi caleg dengan harapan bisa melanjutkan perjuangan suara suara kaum marjinal terpinggirkan. Slogan anti kemapaman lagi lagi dipekikkan. Sukur sukur bisa maju dipilih rakyat.

Yang hobi nulis jadi Jurnalis bisa jadi jalan aktivis selanjutnya. Ideologi perjuangannya hampir- hampir mirip. Sama sama punya slogan anti kemapaman dan perjuangan marjinal. Itu kalau belum dimasuki kepentingan pemilik dan pengaruh independensi media. Kadang kadang bisa bikin goyang juga. Oke bisa jadi dianggap bertentangan dengan falsafah aktivis itu sendiri.

Ada yang keluar dan akhirnya bikin media sendiri. Kemudahan interaksi digital dijaman revolusi dunia 4.0 ini membuat media gampang gampang enteng. Tinggal lobi pemodal, bereskan ijin sana sini, siapkan platfrom medianya dan jadi. Bisa berjuang sesuai naluri dan kreasi sendiri.

Banyak juga yang gak kemana mana tapi ada dimana mana kok. Misalnya tetap menjaga konsistensi pikir dan falsafah anti kemapaman tadi di sosial media. Rajin pidato dan ceramah membakar dihadapan junior dalam berbagai kesempatan orientasi perkaderan. Mereka masih tetap hidup dan ada.

Ada lagi yang boleh melacak kehidupan para mantan aktivis mahasiswa selepas mereka kuliah. Hidupnya memang begitu. Rumit nan berat. Dimana lapak ngopi kita? Heuheu... //

- Perdana Ramadhan -

13 Agustus 2019 - di siang nan terik pinggir paret busuk. //

Rabu, 08 Mei 2019

Sepuluh Tahun Lalu, 13 Aktivis ‘Kegelapan’ Demo PLN Kisaran Saat Ramadhan

“JUMAT, 4 September 2009 pukul 16.20 WIB, sebanyak 13 pendemo diamankan ke Polres Asahan karena aksi ricuh mereka di siang terik saat ramadhan. Usai shalat Jumat puluhan masa yang didominasi mahasiswa bersama warga ini ‘tumbangkan’ pagar halaman kantor PLN.” - Petikan headline utama pada Surat Kabar Metro Asahan yang terbit pada Sabtu 5 September 2009. Sepuluh tahun lalu !



Ketika itu, Sumatera Utara dilanda krisis energi listrik. Kondisi itu tentunya tidak separah saat ini, meski pemadaman listrik kerap terjadi sesekali sampai hari ini, dan itu menjadi tradisi saat bulan ramadhan. Entah mengapa!

Aku adalah satu dari tiga belas orang pendemo yang saat itu diamankan. Sebelumnya gerakan yang dinisiasi oleh beberapa pentolan aktivis mahasiswa di Kisaran waktu itu sudah melakukan aksi demonstrasi ke kantor PLN Kisaran lima hari berturut turut setiap harinya. Siang - malam. Hari kelima aksi itu ‘chaos’.Ditangkap, digelandang dan diamankan.

Untungnya, pengamanan terhadap para aktivis ini hanya kurang dari 24 jam. Ratusan tokoh masyarakat termasuk ulama, remaja mesjid, pemuda malam itu juga menggalang kekuatan. Usai tarawih, mereka menjenguk kami. Bernegosiasi dengan aparat untuk pembebasan. Selepas dhuha keeskokan harinya kami keluar, setelah melewati rekam catatan crime dan didata sesuai prosedur.

Aksi itu mendapatkan simpatik dari semua kalangan. Namun hanya beberapa aktivis mahasiswa dan pemuda yang berani mendobraknya melalui aksi demonstrasi. Disaat umat Muslim sedang menjalankan ibadah puasa ramadhan, dalam sehari tak terhitung berapa kali listrik padam. Durasi pemadamannya diatas empat jam dengan dua waktu dalam sehari. Termasuk saat sahur, berbuka dan waktu tarawih. Siapa yang tak kesal!?

Saya berhasil mengumpulkan klipingan dokumentasi aksi masa itu disurat kabar cetak lokal, Harian Metro Asahan. Berikut catatan dan rangkumannya :



Selasa, 1 September 2019 – Judul : Demo PLN Warga Shalat di Jalan.

Aksi pertama mahasiswa bersama warga ini bermula hari Senin. Beberapa orang yang saat itu berkumpul di satu tempat dan dengan mengendarai sepedamotor langsung menuju kantor PLN Kisaran. Disana mereka menggelar orasi dan menyampaikan tuntutannya.

Warga mengeluhkan, saat itu listrik yang padam bahkan lebih dari 8 jam sehari terutama jam berbuka puasa dan sahur. Jika listrik padam, maka ketersediaan air bersih juga sulit didapatkan warga (air PDAM tak mengalir jika listrik mati). Sebagai bentuk protes belasan orang pendemo ini melakukan shalat zuhur berjamaah di depan kantor PLN Kisaran. Dibawah panggangan terik siang waktu itu.



Rabu 2 September 2009 – Judul : Massa Bentangkan Kain Bertanda Tangan Tolak Pemadaman.


Ini aksi hari kedua. Tiga jam sebelum berbuka, aktivis mahasiswa bersama beberapa tokoh pemuda kembali mendatangi kantor PLN Kisaran. Tuntutannya masih sama mempertanyakan komitmen dari pimpinan ranting PLN Kisaran untuk tidak memadamkan listrik terutama pada saat jam jam umat Muslim beribadah khususnya waktu sahur, berbuka dan tarawih.

Aditia Prahmana, aktivis mahasiswa yang saat itu berorasi menyampaikan akibat pemadaman ini banyak warga yang resah atas kebijakan PLN mengapa memadamkan listrik saat waktu umat Islam beribadah. Sayangnya tak ada keterangan resmi dari pimpinan terkait terhadap aksi mereka itu. Pendemo kemudian membentangkan kain putih panjang dan meminta tandatangan warga sebagai bentuk dukungan terhadap penolakan pemadaman listrik.



Sabtu, 5 September 2009 – Demo PLN Ricuh, 13 Pendemo Diamankan.

Usai shalat Jumat puluhan pendemo mendatangi kantor PLN Kisaran. Sebelumnya mereka sudah datang sekitar pukul 11.00 WIB. Karena terhalang waktu shalat Jumat, masa kemudian kembali lagi sekitar pukul 14.00 WIB. Aksi ini menjadi puncak dari beberapa aksi sebelumnya . Masa aksi juga lebih ramai dari biasanya.

Pendemo mendesak bertemu langsung dengan pimpinan ranting PLN yang tak kunjung datang menemui mereka. Puluhan personil polisi bersiaga dan berupaya bernogeosiasi dengan masa aksi. Setelah menunggu dan tak juga mendapatkan respon, puncak kegeraman pendemo naik. Mereka berusaha menerobos pagar yang dijaga pihak kepolisian. Kontan, aksi tersebut chaos!.

Begitu pagar itu tumbang, beberapa aktivis mahasiswa dan warga diamankan. Pendemo tak menyangka aksi kali itu bakal mendapatkan reaksi berlebih dari petugas kemananan. Kejar kejaran terjadi. Beberapa aparat sepertinya sudah mengantongi beberapa tokoh demonstran yang waktu itu ‘layak’ untuk diamankan. Mereka ada tiga belas orang. Langsung digelandang. Tanpa perlawanan!

Dihimpun dari surat Kabar Metro Asahan, dalam konfrensi Press yang digelar hari itu juga, Kapolres Asahan yang saat itu dijabat oleh AKBP Rudi Sumardianto, SH bersama wakapolres Kompol DH Ginting ikut pula kepala PLN Ranting Kisaran, M Marpaung membeberkan, alasan para demonstran ini diamankan karna tak mengantongi izin unjukrasa.

“Kita sudah memberikan tenggang waktu yang begitu panjang bagi mereka (pengunjuk rasa.red) karena mulai hari Senin (1/9/2009) mereka berunjuk rasa berturut turut. Bahkan pada siang dan malam hari mereka berkonvoi menuju gardu induk di Sentang. Kita sudah ikuti,” jelas Kapolres di kutip di Koran harian Metro Asahan, halaman 2 terbitan Sabtu 5 September 2009.

Ke tiga belas orang yang diamankan itu adalah, Kiki Komeni, Aditia Prahmana, Husni Mustofa, Perdana Ramadhan, M Rio, M Thahir, Ilham fauzi, Hariadi Sahputra, Cipta Maradona, Yudi Suwito, Zuhri, M Isa Ansori, dan Ahmad Syafrizal.

Setelah aksi tersebut, tak lama beberapa tokoh pemuda dan ulama bernegosiasi dengan Kapolres Asahan untuk membebaskan para pendemo yang ditahan. Keesokan paginya, kami dipulangkan. Namun kabar gembiranya bukan itu. Di hari hari selanjutnya selama kami menjalankan puasa di bulan Ramadhan kota Kisaran tak lagi gelap. Tak ada pemadaman listrik terutama pada saat sahur, berbuka puasa dan tarawih. Takbiiir !!!

Senin, 10 Desember 2018

Cinta, Darah dan Air Mata di Aek Polan


ASAHAN - Novi tak pernah menyangka, mula kerinduan adik bungsunya (FY) yang masih berusia tiga tahun kepada sang Ibu (Susilawaty) menjadi petaka. Itu, setelah ayahnya terlibat duel maut di pagi berdarah kampung Aek Polan, Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan, Senin (/12) lalu sekitar pukul 07:00 WIB. 

Dihadapan Novi dan FY, ayah mereka Rudi Selamat (55) meregang nyawa. Pria malang itu dihujani tikaman dengan pisau dapur oleh Mahyaruddin Siregar (40) yang dituduh Rudi sebagai selingkuhan Susilawaty. Rudi tewas setelah menerima bertubi tikaman di perut, ulu hati dan kepala. 




Mula pagi jahanam itu, berawal ketika Rudi Selamat berboncengan dengan Novi dan FY dari rumah mereka di Kecamatan Air Joman untuk menemui Susilawaty yang sudah lebih dari dua bulan tak kunjung kembali ke rumah. 

Mereka bertiga mengendarai sepedamotor Honda. Rudi yang sudah mengantongi alamat baru sang istri bersama Mahyaruddin diketahui tinggal mengontrak di Aek Polan. Mereka membelah keheningan pagi menuju kontrakan dimaksud.  

Disini tragedy itu bermula. Sesampainya di rumah kontrakan yang ditinggali Susi dan Mahyaruddin api cemburu Rudi semakin menggila. Emosinya diatas puncak. Rudi dibakar cemburu. Dia menggedor rumah kontrakan itu.

Pintu rumah yang dikunci dari dalam didobrak paksa Rudi. Suasana semakin gaduh ketika penunggu rumah membuka pintu. Tanpa basa basi, Rudi menghajar Mahyaruddin tanpa ampun didepan Susi dan disaksikan dua anak mereka. 

Duel bebas didalam rumah tak terelakkan. Mereka baku hantam. Rudi yang berpostur daguk dibanding Mahyaruddin semakin beringas menghajar pria yang dituduhnya sebagai selingkuhan istrinya itu tanpa ampun. 

"Saya sudah minta tolong dan terus dihajar mendiang itu sampai ini kepala bocor. Karena saya pikir tak imbang saya mau lari keluar melarikan diri dari dapur belakang. Rupanya semua pintu sudah dikuncinya dari luar," kata Mahyaruddin di sel tahanan Mapolres Asahan usai dirinya dibekuk oleh Unit Jatanras Satreskrim Polres Asahan Sabtu (8/12) siang kepada wartawan.

Karena terdesak dan kalah Mahyaruddin terancam. Dia ingin kabur dari hujanan pukulan Rudi dengan bermaksud lari lewat pintu belakang. Ternyata semua pintu sudah dikunci dari luar oleh Rudi. Mahyaruddin makin terdesak. Dia melihat sebilah pisau di dapur belakang rumah lantas menggunakan senjata tajam itu untuk melanjutkan pertarungan. 

"Saya tak punya niat membunuh pak. Pisau itu memang saya ambil karena saya udah terancam dan kalah berantam sama mendiang," bela Mahyaruddin kembali 

Sama sama tersulut emosi, Mahyaruddin menikam tubuh korban tanpa ampun. Susi sempat ingin memisahka keduanya namun perempuan itu tak sanggup. Seketika, Rudi tewas bersimbah darah di tangan Mahyaruddin. 

Suasana kacau. Bahkan menurut kesaksian Novi ia sempat dikejar oleh pelaku setelah membantai ayahnya dengan pisau. Setelah itu, Mahyaruddin mengajak Susi melarikan diri menggunakan sepedamotor milik Rudi Selamat. 

Empat hari berselang. Pelarian dua sejoli ini berakhir di Rokan Hulu, Riau. Itu setelah unit Jatanras Satreskrim Polres Asahan berhasil mengidentifikasi lokasi pelarian mereka dan ditangkap pada Jumat (7/12).

"Ini mereka larinya sudah jauh. Anggota kami dilapangan bertaruh nyawa untun dapatin mereka di Rokan Hulu sana. Sampai naik sampan segala," Kata Kapolres Asahan AKBP Faisal F Napitupulu saat pemaparan kasus kepada sejumlah awak media, Sabtu (8/12) di Mapolres Asahan.

Dihadapan wartawan, Kapolres mengatakan adapun tersangka melakukan pembunuhan ini karena sebelumnya dia dipukuli dan berkelahi dengan korban. 

"Karena kalah berkelahi, dia pergi ke belakang ambil pisau dan menikam korban," kata mantan Kapolres Nias Selatan itu.



M Naufal Kurniadi (28) yang turut hadir ditengah rilis pengungkapan kasus pembunuhan ayahnya di Mapolres Asahan tak kuasa membendung amarahnya. Naufal adalah putra tertuadari istri pertama korban.

Dia sempat berusaha mengejar pelaku MS yang hendak dibopoh petugas menuju sel tahanan. Beruntung aksi itu cepat dihalangi petugas kepolisian dan awak media.

Sambil memaki tersangka Naufal terlihat menangis dan dipeluk rekannya. Kapolres Asahan AKBP Faisal Napitupulu SIK turut ikut meredam amarah pemuda ini.

"Sudahlah, kamu iklaskan saja. Bapak kamu juga sudah pergi tenang disana. Biar pelaku dihukum sesuai  perbuatannya di Pengadilan nanti," kata Kapolres sambil mengelus pundak Naufal yang masih terisak.

Berhasil menenangkan diri, Naufal sejurus kemudian memeluk Kapolres Asahan yang baru kurang dari satu bulan itu menjabat di tanah Rambate Rata Raya.

"Saya ucapkan terimakasih pak, sudah menangkap pelaku pembunuh Bapak saya. Terimaksih ya pak, tak bisa kami balas kebaikan bapak ini," kata Naufal sambil terisak memeluk tubuh Kapolres dan Kasat Reskrim.

** Pesan Almarhum Suami Dalam Mimpi ***

Menurut pengakuan Susilawati, wanita yang diperebutkan oleh dua lelaki itu menyebutkan beberapa bulan yang lalu suaminya (Rudi ) ada memberikan surat kuasa materai yang berisikan Susi boleh kembali menikah dengan lelaki manapun karena saat itu mereka sudah tak ada kecocokan di rumah tangga.

"Ada pak surat pernyataannya di teken kepala desa. Mendiang ini (Rudi) dulunya memang sudah sering menyiksa aku pak. Seeprti uang belanja tak dikasi, sering marah dan pukuli aku saat ngaji," ujar Susi yang mengaku untuk kebutuhan sehari dia harus mencari uang tambaha di Imam Market Kisaran.

Susi tak tahan. Profesi Rudi yang hanya anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat asap dapur rumah mereka tak tentu berasapnya. Sambil tersedu, Ibu lima anak ini mengisahkan kalau Rudi jarang menafkahi keluarga.

“Aku terpaksa kerja sama orang pak di warung bakso. Karena mendiang ini jarang kasi uang. Kalau aku tanya soal uang belanja sering aku dipukul mendiang itu,” kata Susi menceritakan  seponggol kisah pilu keluarganya itu.
   
Sehari membantu dan bekerja dengan orang di warung bakso, Susi mendapat upah sekitar 40 ribu. Disanalah ia bertemu Mahyaruddin,  pelanggan setia di warung bakso tempat dia bekerja. Singkat cerita benih cinta tumbuh. Mayharuddin yang saat itu berstatus duda kala kadung jatuh hati pada Susi.

Mereka menikah siri. Susi pun berhasil meyakinkan Mahyaruddin bahwa ia bebas dipersunting pria manapun berbekal surat bermatrai yang ditandatangani Rudi. Saat peristiwa itu terjadi, Susi tengah hamil dua bulan lepas pernikahannya dengan Mahyaruddin.

Rupanya cinta Mahyaruddin dan Susi malah semakin membuat Rudi murka dan sakit hati. Hingga petaka pagi lewat duel maut itu merenggut nyawanya.  

Dalam pelarian, Susi sempat dihantui mimpi almarhum (suami) –nya itu. “Maaf kan bang ya dek. Mungkin inilah sudah nasib abang. Jagalah anak anak kita dan semoga kalian bahagia,-“ kata Susi menirukan ucapan almarhum dalam mimpinya. 



***

Sebelumnya beredar rekaman video amatir warga. Saat itu terlihat Novi bersama adiknya menangis histeris memanggil nama Bapaknya yang teekapar dipinggir jalan bersimbah darah dan menjadi tontonan warga. 

Di rekaman gambar itu, tangan Rudi sebelum meregang nyawa sempat bergerak gerak. Sialnya tak ada satupun warga yang berinisiatif cepat melarikan korban untuk ditolong ke rumah sakit. Pilunya, vidio itu diabadikan salah seorang warga dan ramai di jagat maya. Beda perlakuan tapi sama sama biadab. (Perdana Ramadhan).

// Artikel ini sudah terbit di Surat Kabar Harian Metro Asahan, Senin 11 Desember 2018.

Minggu, 25 November 2018

Zaman ke Zaman Bioskop Kisaran



Zaman millennial saat ini, bioskop bagi masyarakat di kota Kisaran, Kabupaten Asahan masih menjadi  hiburan ‘barang’ baru. Kendati demikian, tak bisa dipungkiri anak muda kota Kisaran di masa dulu sempat menikmati kejayaan bioskop pada sekitar awal tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990 - an. 

Sebut saja tiga nama bioskop familiar yang sampai hari ini bekas bangunannya masih beridiri tegak di jantung kota Kisaran, ada Varia, Jaya dan Ria. Ke tiga lokasi ini kerap menjadi tujuan kaula muda saat itu, tergantung kitanya punya duit berapa untuk membayar tiket menonton. 



Varia kini masih berdiri kokoh di Jalan Rivai, Keluaran Kisaran Kota. Bangunan aslinya masih tetap dibiarkan utuh meski dipelataran ex bioskop itu kini beralih fugsi jadi latar pedagang kaki lima. Bekas bangunannya masih utuh. Menengok kondisi dari celah pagar tuanya, seakan tempat ini masih bisa memutar kembali ingatan ketika masa jayanya.

Varia bisa dibilang bioskop yang paling berkelas di kota ini. Memiliki tiga studio, saat itu menjadi satu satunya tempat nonton yang dilengkapi fasilitas AC. Mewah. Kalau mau menikmati suhu ruangan ber-AC agar dibilang ‘pernah’ maka anak muda saat itu pergi- nonton ke Varia. 

“Tergantung kalau kau punya duit berapa saat itu kita mau nonton. Yang jelas untuk di Kisaran ini, bioskop yang berkelas itu di Varia karena studionya ada tiga dilengkapi AC. Kalau duit pas pasan tapi tetap mau nonton datang lah ke Jaya atau Ria,” kata Ismanto warga kota Kisaran mengingat kejayaan fasilitas bioskop saat itu.   

Berbeda dengan Varia. Nasib bioskop Jaya agak sedikit lebih terawat tapi keberadaannya sekarang berubah fungsi. Dari sisi luar gedung kelihatan lebih lebih terlihat rapi. Sekarang bangunan yang berlokasi di Jalan Diponegoro (ujung) ini sudah berpagar beton. Bangunan ini dikomersilkan oleh pemiliknya sebagai gudang logistik barang.

Konon, Bioskop Jaya dikenal sebagai tempat tontonan film yang paling idialis karena memutar film film Nasional ketimbang asing. Tiket masuknya juga ramah dikantong. Jadi primadona masyarakat ekonomi bawah.

Sedangkan Cahaya, kondisi bangunannya kini nyaris tak berbekas. Letaknya di Jalan Sisingamangaraja, bangunan ini sekarang sudah berubah bentuk menjadi rumah sakit swasta Setio Husodo. 

Cahaya Theater atau bioskop Star ini dikenal sebagai tempat nonton paling ‘mesum’ di kota Kisaran. Di tempat ini pernah terjadi aksi pembakaran gerakan spontanitas masyarakat sekitar tahun 1993. Tepatnya di bulan Ramadhan, masyarakat yang geram usai shalat tarawih masa ramai ramai melakukan pembakaran dan pengrusakan terhadap bangunan gedung bioskop.


Star kemudian sempat ditutup sementara oleh pengelolanya dan berubah nama menjadi Cahaya Teather. Namun berubahnya nama menjadi Cahaya masih tetap dengan gaya sajian film ‘mesum’ nya. Tak lama bioskop ini ditutup oleh aparat pemerintah setempat.

Dipenghujung tahun 1990 – an industry  bioskop memiliki tantangan yang berat setelah lahirnya Video Compact Disc (VCD). Pembajakan film marak terjadi. Pelaku hiburan bioskop saat itu undur diri.

***

Sekarang bioskop udah ada di (Kisaran). Keberadaannya sekarang tak hanya dinikmati oleh pecinta cinema yang hobi nonton di akhir pekan. Untuk penonton garis keras, bioskop merupakan ruang apresiasi bagi pelaku industri film. Bagi generasi millennial, ini spot kencan yang harus dikunjungi jika berkocek tebal. Hehe..

Jumat, 10 Agustus 2018

Proklamasikan Koran Sebagai ‘Jurnalistik Kasta Tertinggi’



Mendapatkan sebuah informasi di zaman milenial saat ini sangatlah mudah. Semudah bernafas, asalkan masih punya akses, dalam genggaman tangan kapan dan dimana saja informasi dengan lalulintasnya yang luar biasa mudah didapat. 

Dalam satu kesempatan materi pembekalan wartawan yang saya ikuti,  Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat yang juga pimpinan redaksi majalah cek n ricek menyebutkan ;  Saat ini tantangan pekerja media (jurnalis) adalah dominasi informasi sosial media yang rata rata mendahulukan kecepatan dibanding ketepatan.

Dok. Foto bersama Dahlan Iskan, Pembukaan Hari Pers Nasional di Padang Convention Centre, Sumbar //


Di zaman now, banyak penggiat sosial media dengan mudahnya beropini tanpa bersandar pada data. Kemudian informasi itu mudah tersebar dengan cara berantai melalui smartphone di sosial media, jadilah dia konsumsi informasi publik. Menulis tidak bersandarkan data.

Disinilah letak tantangan pelaku profesi jurnalistik, diantaranya (kami) banyak yang tak terlalu memikirkan sense of urgency.

***

Dalam satu kesempatan pertemuan ‘ diskusi model bisnis media cetak’ yang digelar oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) di Jakarta, (8/8/2018) mantan CEO Jawa Pos Group, Dahlan Iskan mengatakan ; koran jika ingin terus hidup harus berani proklamasikan diri sebagai jurnalistik kasta tertinggi.

Penyebabnya, saat ini banyak koran mulai ditinggal para pembaca karena maraknya media digital terbit.  
Rencana memproklamasikan koran sebagai jurnalistik kasta tertinggi bukan persoalan mudah. Ini persoalan bagaimana menjadikan sumberdaya  pers dengan karya jurnalistik cetak yang enak dikonsumsi pembaca, sehingga kental menjadi pembeda antara bacaan koran dan media digital lainnya.

Di Amerika, orang orang yang ingin mendapatakan informasi harus beli dan baca koran. Karena banyaknya media digital menjual konten hoaks dilinimasa. Time York Time hidup dari kualitas konten mereka yang bagus. Tak pernah ditinggalkan pembacanya.

***

Sebuah pemberitaan media digital, diberitakan terjadi kecelakaan yang  dalam peristiwa itu korbannya mengalami putus tangan sebelah kanan. Tiga jam kemudian segera diralat berganti jadi sebelah kiri. 
Kesalahan tersebut bagi penulis yang memegang teguh prinsip akan membuat dia merasa paling bodoh dan kesalnya setengah mati. Dia akan merasa bersalah.  (**)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates