blog edit

Senin, 30 Oktober 2017

Dari Asahan ke Barca / Vini Vidi Vici !

Publik sepakbola di Kabupaten Asahan saat ini sedang panas - panasnya. Bagaimana tidak dalam tempo kurang dari satu minggu, dua gelar runner up diboyong sekaligus ke tanah Rambate Rata Raya. Satu dari kompetisi "lawas" level muda bertajuk Suratin Cup U-18, satunya lagi didapat dari Barcelona Cup U-15 nun jauh dari negerinya Lionel Messi. Meski sama sama berstatus juara dua, keganggaan itu tetap patut disandang dengan dada tegak.

Foto: Anak - anak Asahan berselebrasi di Barcelona Football Cup tampil sebagai runner up.

Dua turnament sepakbola tersebut sukses dilakoni PERSATUAN SEPAKBOLA SELURUH ASAHAN (PSSA) usia muda berkat dukungan all out para pejuang olahraga si kulit bundar di Asahan baik dari depan atau belakang layar, dari dalam maupun luar lapangan, langsung maupun tidak langsung. Semua dukungan tulus, demi kemajuan per- sebakbolaan di Asahan.

Sabtu, (28/10/2017) final Suratin Cup mempertemukan antara PSSA U18 yang mewakili (SUMUT) VS JAWA BARAT U-18 disiarkan live di televisi dari stadion Manguwoharjo, Sleman DIY. Ditengah pertandingan si komentator sempat menjelaskan (mungkin sebelumnya buka gugel) dari mana tim PSSA ini berasal. Kemudian si komentator menjelaskan sendiri, tim berbaju hijau itu datang dari daerah yang secara geografis didominasi wilayah perkebunan bernama Kabupaten Asahan di Sumatera Utara jaraknya sekitar empat jam jika menempuh perjalanan darat dari kota Medan.

Sikomentator juga bilang, selama ini daerah tersebut (Asahan) melahirkan banyak atlit sepakbola berbakat di PSMS Medan dimasanya, misalnya Abdurahman Gurning, Edu Juanda sampai penyerang aktif PSMS saat ini, Willyando.

Pra pertandingan Final sosial media ramai membincangkan PSSA Asahan ini. Saat mengikuti nonton bareng di salah satu bilangan warung kopi di kota Kisaran, seorang penikmat bola tiba tiba nyeletuk. "PSSA ini lama tak kedengaran tiba tiba main di tipi aja, Bintang Jaya apa kabarnya?".

Tahun 2016 lalu Asahan boleh jadi sedang menapaki puncak masa kegemilangan sepakbolanya yang berlaga di kasta kedua Indonesia (liga 2). Adalah kesebelasan Bintang Jaya (BJ) mampu menjadi warna dan permainannya diperhitungkan oleh tim - tim yang terlebih dulu punya nama besar sekaliber dengan PSMS Medan, PSPS Riau Pekanbaru, sampai Persiraja Banda Aceh. Bahkan saat itu PSSA Asahan, tim yang lebih dahulu sudah ada dan bermarkas di stadion Mutiara ini namanya hampir tak terdengar. Namun kondisi itu tak bertahan lama, tim berjuluk "Laskar Kijang Gunung" yang dimodali penuh oleh seorang penggila bola, pengusaha sekaligus pejabat di kota Kisaran ini redup karena faktor "X". Tim ini kemudian berganti owner pindah home base ke kota Batam di Kepulauan Riau pada musim 2017 tetap bermain di Liga 2 dengan nama baru 757 Kepri Jaya. 

Dokumentasi penampilan PS Bintang Jaya Asahan saat berlaga di Indonesia Soccer Championship (ISC - B) tahun 2016 di Stadion Mutiara Kisaran.
 
Sepakbola bisa dikatakan punya tempat khusus di Asahan karna terdapat masih memiliki orang - orang yang loyalitas mati dan cinta pada dunia gila bola. Selepas BJ, pelan tapi pasti PSSA Asahan naik kepermukaan melalui prestasi atlit usia mudanya.  U-18 meski kalah di partai final Suratin Cup 2017 dari Jawa Barat 1-4.

Senin (30/10/2017) jagat maya di Asahan dihebohkan dengan "penampakan" tim PSSA U-15 di Barcelona Spanyol. Mereka menempati posisi Runner Up pada kompetisi Barcelona Cup usai dikalahkan Soccers tim asal Inggris 0 - 2. Penampakan memang, karena keberangkatan tim yang merupakan utusan undangan dari Badan Liga Sepakbola Pelajar Indonesia (BLISPI) diketahui oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga dalam rangka pengembangan sepakbola Indonesia usia muda, nyaris tak diketahui oleh peliput media lokal. Ujug-ujug menang, juara dua pula bersaing dengan tim tim eropa yang terapan ilmu sepakbolanya jauh di atas Indonesia. Sesuatu, ... karna keikutseraan tim menuju Spanyol mendapat talangan sponsor penuh dari Pemkab Asahan dibayar mahal pula dengan raihan juara dua tadi. standing aplause...

Dikisahkan, perjalanan tim PSSA U-15 yang membawa nama Garuda Jaya Indonesia mengikuti kompetisi memang tak mudah. Dalam siaran pers rilis resmi melalui pesan aplikasi watshap group yang diterima  PSSA dibabak penyisihan group A keluar sebagai juara setelah mengalahkan tim tuan rumah Bafala Spanyol 1 – 0, ditahan imbang tim Newbridge Town 1 -1 dari Irlandia, dan mengalahkan tim Fortuna dari Swedia dengan skor telak 3 – 0. Bagaimanapun perjalanan mereka ke Spanyol menyisakan cerita bangga lewat prestasi tadi. Dari Asahan, merah putih berkibar disana.

Menariknya, jelang kepulangan sang juara dua dari Barcelona ini ditunggu banyak orang. Sebab dari belakang gawang tribune selatan sudah terdengar chant - chant yang mempertanyakan anggaran perjalanan fantastis ke kandangnya Lionel Messi dengan sponsor penganggaran dari APBD yang tak murah itu. "uhuuk..."

Bagaimanapun para bocah yang berangkat ke Barcelona juga masyarakatnya Kabupaten Asahan. Kebetulan saja anak anak itu punya kemampuan bakat sepakbola yang lumayan, tak ada salahnya menjajal tim eropa yang terapan ilmu sepakbolanya sudah modern. Siapa tahu anak anak Rambate Rata Raya ini ditahun mendatang membawa mimpi jutaan masyarakat Indonesia mengibarkan merah putih di Piala Dunia tahun dua ribu sekian. Siapa tahu ??? 

#ProudOfYou.

Penulis : Perdana Ramadhan. //

Rabu, 20 September 2017

Wartawan Satu Ginjal



Ini hari kedua. Pagi ini cuaca Medan sedang hujan. Dari dalam ruang berukuran seperempat lapangan sepakbola enam unit pendingin ruangan berdiri tegak menghembuskan udara sejuk. Dinginnya itu sampai membantai persendian tulang. Sialnya posisi dudukku persis dibawah mesin pendingin raksasa itu. Maka jadilah aku, seperti ayam sayur kedinginan berteduh dibawah pohon. 




Tapi, tentu saja itu bukan menjadi alasan penciut semangat ku jadi kendor untuk ikut tahapan ujian kompetensi yang akan dimulai tepat pukul 08:00 WIB. Ku pandang satu satu wajah beberapa orang reaksinya sama. Sama sama menjepit tangan diantara ketiak.

Sejurus kemudian, seorang pria berjalan pelan menuju salah satu meja bundar. Delapan kursi yang tersedia hanya tiga yang berpenghuni. Beliau adalah Widodo Asmowitoyo, mantan pimpinan redaksi surat kabar Pikiran Rakyat. Sampai hari ini media tersebut masih pemegang oplah terbesar di Jawa Barat dan sekitarnya. 

"Yang lain belum datang ya ?!" dialeg Jawa kental Widodo membelah dingin ruangan. Kemudian, kami serentak menjawab.

Dua temanku itu kemudian masing masing menyodorkan sebuah buku untuk ditandatangani. Dalam sesi sebelumya, Widodo jadi pembicara memaparkan materi kode etik jurnalistik. Ia membagikan tiga buah buku pada peserta yang aktif bertanya. Dua diantaranya satu meja bersama ku. 

Saat dia menandarangani bukunya, aku hanya menonton. Tak ku sangka, dia mengeluarkan sebuah buku lagi dari dalam tasnya kemudian dia bubuhkan tanda tangan dilembar pertamanya.

Datang tepat waktu diantara peserta lain saat uji kompetensi berlangsung, beliau hadiahkan saya buku yang ia tulis sendiri.

 "Jadi wartawan itu harus on time. Kamu masih muda harus disiplin" pujinya pagi itu sembari menyerahkan cenderamata buku untuk saya. 



- - - - 

Selama puluhan tahun mengabdikan diri di dunia jurnalistik membuat ia harus kehilangan (ginjal) salah satu organ dalam tubuhnya. Pun begitu, ia mengaku tak kapok.

Sekarang aktivitas beliau banyak disibukkan berkeliling Indonesia untuk menguji kompetensi pelaku kuli tinta. Manis sekali.

Ujian ini memang membuat tegang otak kami walaupun materi yang diujikan seputar pekerjaan sehari hari. Diantara jeda waktu rehat aku berusaha menggali sedikit cerita pria yang dua hari ini menguji ku. Tapi bukan soal ujian, melainkan tentang judul “Hidup Dengan Satu Ginjal” – perjalanan seorang wartawan ( buku yang ia tulis ).

Aktifitas pekerjaan yang padat selama aktif bertugas sebagai wartawan dilapangan membuat ia mengabaikan harta yang paling berharga dalam hidup yakni kesehatan. Apalagi semenjak ditugaskan jabatan sebagai redaktur yang memegang halaman satu di surat kabarnya.

Satu sisi kerja dibidang jurnalistik menempa wartawan “sejati” untuk berkomitmen penuh dan bersiaga menjalani profesi selama 24 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Disisi lain, kerja jurnalistik yang penuh tekanan dan dikejar waktu terkat dengan tenggat (deadline) menerpa wartawan profesioal untuk bekerja cepat, tepat dan akurat.

Widodo memang hidup dijaman wartawan Indonesia belum mengenal computer dan teknologi digital seperti sekarang ini. Karya tulisnya yang berkualitas membuat namanya kian dikenal pembaca. Demikian, dia ikhlas saja bekerja. Mengalir begitu saja.

Singkat cerita, setelah melewati pemeriksaan medis yang panjang beliau akhirnya merelakan satu organ tubuhnya diangkat dan hidup dengan satu ginjal sejak Agustus 2004.

“Bekerja menjadi wartawan, jangan lupakan kesehatan,” pesan singkat dari pelaku jurnalistik senior. Buku itu dia tandatangani.

“Untuk kamu, Perdana Ramadhan, semoga bermanfaat” katanya.-


Sabtu, 02 September 2017

Menakar Calon Penantang Ketua Aklamasi di Konferensi PWI Asahan

Agaknya, saat ini tetua di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tingkat Kabupaten Asahan sedang ber - public opinion jelang pesta perhelatan demokrasi pucuk pimpinan organisasi wartawan tertua di Indonesia di tingkat kabupaten Rambate Rata Raya yang rencananya bakal dihelat tangal 9 September 2017 mendatang.

Bagaimana tidak, jelang konferensi  PWI Asahan yang di nahkodai oleh Awaluddin selama dua periode itu seakan “kepayahan”  untuk mecari pengganti sosok pucuk pimpinannya. Rumor beredar, hanya ada nama Indra Sikoembang yang paling siap mengisi formulir berkas pencalonan ketua.  Bah ! Jika seperti ini musyawarah pemilihan ketua terancam aklamasi. 


Tentu saja, yang paling dibuat - ‘gerah’ jelang konferensi adalah Nurkarim Nehe. Dalam level kaderisasi ditubuh organisasi kewartawanan itu di Asahan bahkan sampai level  Sumatera Utara, Nehe boleh dibilang paling punya gengsi. Wajar saja, dia pernah mengecap sebagai ketua dua periode dimasanya.
Kegusaran  Nehe tak bisa dia sembunyikan.  Hal itu ditunjukkannya dalam salah satu postingan komentar di group watshap  himpunan wartawan yang memiliki anggota puluhan orang baik media cetak, maupun elektronik di Kabupaten Asahan.

“Jadi … jika Indra Sikoembang calon tunggal, pertama : merubah tradisi yang ada. Kedua: mematikan dinamika padahal ini organisasi profesi yang mengutamakan skill dan profesionalisme*,” tulis wartawan berkompetensi tingkat  utama ini. | *watshap group D.K  |1/9/17| 07:26 am.

Nehe paham betul, dalam kerangka organisasi profesi sekaliber PWI tentu dinamika haruslah diciptakan bukan ditunggu apalagi momentumnya adalah Konferensi.  Maklum saja, Waka (sebutan lain Nehe) selain termasuk tokoh senior dalam segala line up, dia boleh dikatakan kenyang untuk urusan organisasi, termasuk selain memimpin PWI Asahan dua periode dan kini aktif memimpin KONI Asahan dua periode pula.

Dalam tulisan obrolan masih dalam pesan watshapnya Nehe turut menyampaikan bahwa awak Waspada hanya akan menjadi peserta suksesi dan mendukung para calon ketua dengan memberikan suara secara baik, ikhlas bahkan tanpa imbalan jabatan sekalipun. Artinya, lima anggota PWI Asahan dari group Waspada hampir dipastikan tak bakal melenggang ke bursa calon ketua. Keputusan ini mereka sebut dengan “Pertimbangan Santun Waspada”.

Mempelajari konferensi terdahulu saat terpilihnya Awaluddin di periode pertama Awal terpilih  dengan vote 7 – 2, lima tahun berikutnya dalam agenda yang sama wartawan Analisa ini  kembali memimpin, setelah menang aklamasi dengan status petahana. Perjalanan Awaluddin sama seperti seniornya Nurkarim Nehe saat didaulat menjadi ketua PWI Asahan dua periode berturut turut.

Nama Indra Sikoembang (sekretaris) wartawan Medan Bisnis,  sebagai juru masaknya dia PWI Asahan selama dua dekade berturut turut  mendampingi Awaluddin sebagai ketua. Agaknya, Indra sedang diatas angin. Dia terancam menang aklamasi. Tapi tunggu dulu, konstalasi jelang konferensi bisa saja berubah.

Nama Heru Sihotang salah satunya yang dijargonkan menantang Indra.  Anak dari  almarhum Herman Sihotang yang juga merupakan salah satu tokoh wartawan lawas di Asahan ini “kadung” digadang gadangkan rekannya untuk bertarung meski mayoritas pendukungnya berasal dari luar anggota PWI.

Sejak remaja, Heru akrab didunia jurnalistik tak heran eksistensi dan konsistensi yang dimiliki membuat namanya cukup dikenal khalayak. Terkait rencana pencalonan namanya di bursa calon ketua PWI Asahan sebenarnya dia tak ingin sesumbar.  Beberapa media cyber di Asahan mengaku telah mendukung penuh rencana pencalonan untuknya meski tak terlibat aktif langsung dalam konferensi.

Sebagai organisasi profesi  PWI milik publik walau terkesan sedikit ekslusive sebab tak mudah masuk menjamah kedalam meski seprofesi wartawan sesuai peraturan dan ketentuan dewan pers.  

Konferensi adalah proses musyawarah tertinggi yang diatur setiap bidak langkahnya. Sejatinya, memang tak pernah ada yang mengharamkan kemenangan merebut pucuk pimpinan secara aklamasi.

Selamat bermusyawarah !
// Perdana Ramadhan. /BENS
** Penulis adalah simpatisan dan bukan anggota PWI Asahan.

Senin, 17 Juli 2017

HBD 2 U –nya ‘Bunda’


Sebenarnya dua hari  lalu (15/7/2017) dalam tradisi orang kebanyakan dibelahan bumi ini, istriku merayakan ulang tahunnya yang ke 25. Sialnya aku (suaminya) bukanlah tipe lekaki romantis kebanyakan, yang tepat pada pukul 00:01 WIB memberikan kado sepesial atau matikan lampu memberi kejutan kue tart dengan lilin angka dua lima diatasnya.

But, … tidak, tidak ! Itu sama sekali tak pernah ku lakukan. Bahkan sejak kami 2 tahun lebih lamanya hidup bersama dalam usia pernikahan. Akhh…  barangkali aku memang lelaki payah … Istriku tahu betul itu !

Tak ada potongan kue atau bahkan kado special untuknya. Aktifitasnya kami masih sama, seharian dia mengurus dua buah hati kami di dalam rumah. Sementara aku beraktifitas di dunia tulis jalanan. Selepas magrib, kami hanya tiduran santai sambil mengobrol khayal dipinggir ranjang, menjaga anak anak yang baru terlelap. 

Sebab kami percaya, kalaulah ulang tahun identik dengan “special day”maka bagi kami setiap hari adalah hari yang istimewa. Jika ulang tahun dihubung hubungkan dengan pemberian sesuatu (kado), maka aku atau istri bisa memberikan kejutan kado apa saja kapanpun kami mau.

Jika ulang tahun itu makan makan, itu juga hampir tiap akhir pekan kami lakukan, makan di restoran / café favorite kami. Sebisa mungkin dalam situasi apapun kami berusaha tetap “romantic”. Setiap hari setiap akhir pekan kami berulang tahun.

Finally, bhrithday’s story … done !

Sekitar tiga puluh hari yang lalu, istri saya baru saja melahirkan akan kami yang kedua dengan cara operasi cesar. Ini tentusaja bukan hal yang gampang untuk kami lewati, terutama bagi istri saya. Sebab  jarak antara Shafiyah (putri kami yang pertama) dengan Dhuha (adiknya) memang cukup dekat hanya satu tahun tiga bulan.

Kami akui memang, awal mula kabar kehamilan ini dirasa membuat kami sedikit cemas mengingat resiko kehamilan dengan jarak yang singkat. Alhamdulillah proses tersebut telah kami jalani. Keduanya kini dalam kondisi sehat. 



Mengasuh dua anak sekaligus tentu saja membutuhkan pengawasan dan kerja yang dua kali lipat capeknya. Dibantu kakek dan neneknya (Shafiyah – Dhuha),  sekarang keduanya tumbuh. Istri saya saat ini sedang dalam masa cuti dari pekerjaannya jadi dapat maksimal mengurus keduanya.

Kembali ke istri saya. - Dia itu (fighter moms). Walau sebutan ini bisa saja menjadi penilaian orang sebagai ungkapan “air laut asin sendiri” terserahlah !

Dalam episode lalu ditulisan dibloog ini, saya juga pernah bercerita soal ‘bandel’ nya istri saya itu terutama urusan pekerjaan. Bagaimana tidak, dua kali proses kehamilan anak kami, tanpa terganggu dia  masih (bekerja) melakukan perjalanan dengan sepedamotor Kisaran – Simpang Empat. Jarak yang cukup jauh untuk wanita yang berjuang membantu suaminya mencari nafkah untuk keluarga.  Begitu juga kesiapsiagaannya dalam menjaga Dhuha – Shafiyah siang malam.

Tentu saja dibalik wajah lelah dalam lelap tidurnya tiap malam, ada rapalan doa acap terhaturkan untuk kesehatannya beserta dua anak kami setiap saat. Itu saja dulu. Keberkahan usia, bahagia, masuk surga dan kaya raya jadi urutan doa selanjutnya.
  
Sudahlah, saya tak mampu merayu atau menuang lirik romantic dalam bait tulisan   

Selasa, 18 July 2017 | 00:14 AM |

Sabtu, 17 Juni 2017

#21 Duha Ramadhan.



Kurang lebih lima belas bulan lalu saya bersama istri menghabiskan empat hari tiga malam disini. Tentu saja untuk menjemput Syafiyah putri pertama dari buah cinta pernikahan kami. Alhamdulillah, momentum itu kembali berulang pada bulan ramadhan ke 21, 1438 Hijriah waktu duha. Kami kembali dihadiahi titipan seorang anak laki laki dari Yang Maha Kuasa. Tentu saja setelah  pertaruhan nyawa dari ibunya yang melahirkan.



Ucapan adalah doa. Barangkali inilah jawaban latah yang sering saya lontarkan untuk Kak Piah. Entah mengapa memasuki usia (Shafiyah) tiga bulan saya lebih suka memanggil anak pertama perempuan kami itu dengan sebutan "Kakak". Neneknya beberapa kali berang mendengar sapaan manja saya untuk putri kami  itu.
Setelahnya, sebutan kakak untuk Shafiyah benar benar lengket dan menjadi doa yang langsung dihijabah. Kakak akan mempunyai adik. Tentu saja kabar bahagia itu harus kami syukuri walau ada sedikit rasa kekhawatiran mengingat Syafiyah lahir lewat proses operasi cesar  karena jarak mereka yang terlalu dekat. Tapi bagaimanapun saya dan istri tetap tak akan merubah sedikitpun ketentuan dan takdir Allah itu.
"Kalau sudah rejeki ya sudah jangan di tolak yah. Barangkali ada rencana lain Allah buat kita kenapa dikasi kepercayaan dua kali lebih cepat," kata istri saya meyakinkan.

Kejadian ini, mengingatkan saya memori di tahun 2014 lalu. Saat itu saya belum berjumpa istri. Masih menjadi bujang petualang yang sibuk dengan aktivitasnya. Tak punya pacar atau teman wanita dekat tapi sudah berani mendeklarasikan ke banyak orang tahun depan saya akan menikah meski belum memiliki calon wanitanya. Ajaib, diakhir tahun itu saya bertemu istri dan memasuki sekitar enam bulan masa perkenalan kami menikah.
Ah,..  Maha Baik Nya Tuhan kepada saya.

Hari ini, Jum'at, 16 Juni 2017, pukul 09:30 waktu duha. Shafiyah benar benar sudah bisa dipanggil kakak oleh adik lelakinya. Alhamdulillah, setelah proses operasi yang rumit ....
Tentu saja dengan haturan ribuan ucapan syukur pada Yang Maha Kuasa, istri saya berhasil melewati masa masa sulitnya bertaruh nyawa untuk buah hati kami. Terimasih sayang ...
RS. Setio Husodo, lt 2, VIP 223, lima belas menit menit sebelum buka puasa ke #22 Ramadhan.

Kamis, 23 Maret 2017

“Jangan Menangis Ayah”



Pilu. Padahal udara Rabu pagi (22/3/2017) masih belum selesi bercumbu embun. Dari sebuah rumah kontrakan separuh papan di Jalan Williem Iskandar Kelurahan Mutiara Kisaran, seorang ayah yang nekat mengakhiri segala harapan hidupnya dengan cara menggantung diri di seutas tali yang diikat dipintu rumah disaksikan anak istrinya. Pilu!. 

---

“Ayah, uang cicilan motor kita itu besok sudah jatuh tempo. Terus nanti malam kalau ayah pulang jangan lupa belikan susu kak Piah ya…  itu susunya siang nanti sudah habis,” kata istri saya pagi tadi sebelum berangkat meninggalkan rumah.

Aku hanya tersenyum. Dia tahu, aku baru terima gaji dua pekan lagi.

“Iya Bunda… Aman lah itu,” balasku menjawab pesan istri, sambil berharap dia nanti tak kecewa kalau aku pulang tak membawakan sekotak susu yang dimintanya.

Diciumnya punggung tanganku pagi tadi. Sepedamotor ku engkol , aku berangkat  berjihad meninggalkan rumah kami.


---

Siang tadi, aku juga tak sengaja menyaksikan teman seprofesi membalas pesan singkat seluler untuk istrinya minta dibawakan satu kantong plastic kresek beras untuk makan mereka malam nanti. SMS itu hanya dibacanya saja, sebab pulsa untuk membalas pun dia tak punya. Benar, dapat dipastikan raut muka teman saya itu agak bingung dan sedikit berkelakar.  

Hari ini, bertambah satu lagi rasa gundah seorang  Ayah yang bersemayam. Tak jauh jauh. Dia rekanku sendiri. Kami satu profesi.
-- -
Aku gundah sesaat. Pikiran menerawang berkelebat.  Bagaimana jika sampai malam nanti kami pulang tak membawa harapan yang dipesankan orang tercinta dirumah. Bagaimana perasaan (ayah ) menyaksikan raut muka istri melihat suaminya pulang dengan hampa. Kalau tersisih sedikit uang dalam dompet tentu tidaklah masalah, bagaimana kalau sebaliknya.

Aku yakin, setiap harinya banyak ayah-ayah bertebaran mencari nafkah dimuka bumi setiap pagi kerap merasakan perasaan gundah mengiringi hentakan langkah setiap kali keluar rumah. Aduan istri soal kontrakan rumah yang mau habis, listrik yang belum dibayar, mendengar kesaksian anaknya  yang malu ke sekolah karena terus ditagih biaya tetek bengek pendidikan, hutang pada saudara hingga malu keluar rumah, serta segede begaban persoalan perekonomian hidup yang membuat tidur tak nyenyak.

Tapi perjalanan hidup haruslah dilanjutkan. Para ayah tetaplah pejuang. Buktinya tak sedikit para ayah ini mencari jalan pintas untuk membayar gundah mereka dengan cara mereka sendiri.

Diluar sana, aku sendiri menyaksikan banyak ayah yang rela bertaruh masa depan demi keluarganya membiarkan diri terjebak dilingkaran keparat para bandar narkoba. Si ayah berujung jeruji besi.

Akupun pernah menyaksikan seorang ayah yang nekat merampas tas seorang ibu di pasar akhirnya separuh mati tekapar dijalan dihajar sangar orang orang  yang melampiaskan rasa geram.

Aku juga pernah mendengarkan kisah seorang ayah yang menggadaikan moral dibangku jabatan kekuasaannya dengan cara menyulap, memanipulasi, mengada – ada  anggaran, memurkai atasan berujung hukuman pidana.

Halalkah? Yang penting istri diumah tak sempat telan pil kecewa. Yang penting ayah tak lagi mendengarkan tagis anaknya karna susu tak dibeli. Bagi sang ayah, kehidupan harus tetap berjalan. Masa depan anak harus diperjuangkan.

Sementara para istri dan anak anaknya tetap sabar menunggu kepulangan sang ayah di rumah. Tak jarang banyak istri yang larut gundah hatinya menunggu sang suami yang tak pulang padahal sang suami telah meregang nyawa dijalan berjihad memperjuangkan orang kesayangan.

Bagi yang tak sabar, bukan tak sedikit ayah memilih jalan pintas mengakhiri beban kisahnya ditiang gantungan pada seutas tali meregang nyawa.

Aku juga seorang ayah. Aku kenyang akan cerita ini. Profesiku sebagai juru warta tukang tulis di surat kabar harian membuat kisah pulu para ayah ini sudah terlalu sering aku saksikan, aku dengarkan, bahkan aku tuliskan.

 
---

Sungguh, diantara para ayah yang setiap hari jihad aku akan sebisa mungkin menirukan sikap  para ayah yang acap terbangun malam diantara gundah untuk mensejajarkan kening bersimpuh sajadah mengadukan persoalan ketir kehidupan yang tak akan pernah usai. Meyakinkan diri bahwa apapun cobaan hidup akan ada selalu jalan keluar bagi hamba Nya yang mau berserah.  

Karna pasti ia tak akan menuntaskan rasa gundahnya dalam dinginnya dinding penjara sel tahanan, bersimbah darah menerima penghakiman jalanan atau ditiang seutas tali gantungan.

---

“Ayah jangan takut, Allah maha kaya, yang namanya rejeki gak akan tertukar. Karna Bunda selalu hadirkan ayah dalam setiap doa,” pesan istriku malam tadi dipinggir ranjang.

Ku matikan lampu. Kami pun beristirahat melepas penat.   


| PERDANA RAMAHDAN |
Sumber Foto: https://www.google.com/imgres/indonesianfree.com//

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates