blog edit

Kamis, 23 Maret 2017

“Jangan Menangis Ayah”



Pilu. Padahal udara Rabu pagi (22/3/2017) masih belum selesi bercumbu embun. Dari sebuah rumah kontrakan separuh papan di Jalan Williem Iskandar Kelurahan Mutiara Kisaran, seorang ayah yang nekat mengakhiri segala harapan hidupnya dengan cara menggantung diri di seutas tali yang diikat dipintu rumah disaksikan anak istrinya. Pilu!. 

---

“Ayah, uang cicilan motor kita itu besok sudah jatuh tempo. Terus nanti malam kalau ayah pulang jangan lupa belikan susu kak Piah ya…  itu susunya siang nanti sudah habis,” kata istri saya pagi tadi sebelum berangkat meninggalkan rumah.

Aku hanya tersenyum. Dia tahu, aku baru terima gaji dua pekan lagi.

“Iya Bunda… Aman lah itu,” balasku menjawab pesan istri, sambil berharap dia nanti tak kecewa kalau aku pulang tak membawakan sekotak susu yang dimintanya.

Diciumnya punggung tanganku pagi tadi. Sepedamotor ku engkol , aku berangkat  berjihad meninggalkan rumah kami.


---

Siang tadi, aku juga tak sengaja menyaksikan teman seprofesi membalas pesan singkat seluler untuk istrinya minta dibawakan satu kantong plastic kresek beras untuk makan mereka malam nanti. SMS itu hanya dibacanya saja, sebab pulsa untuk membalas pun dia tak punya. Benar, dapat dipastikan raut muka teman saya itu agak bingung dan sedikit berkelakar.  

Hari ini, bertambah satu lagi rasa gundah seorang  Ayah yang bersemayam. Tak jauh jauh. Dia rekanku sendiri. Kami satu profesi.
-- -
Aku gundah sesaat. Pikiran menerawang berkelebat.  Bagaimana jika sampai malam nanti kami pulang tak membawa harapan yang dipesankan orang tercinta dirumah. Bagaimana perasaan (ayah ) menyaksikan raut muka istri melihat suaminya pulang dengan hampa. Kalau tersisih sedikit uang dalam dompet tentu tidaklah masalah, bagaimana kalau sebaliknya.

Aku yakin, setiap harinya banyak ayah-ayah bertebaran mencari nafkah dimuka bumi setiap pagi kerap merasakan perasaan gundah mengiringi hentakan langkah setiap kali keluar rumah. Aduan istri soal kontrakan rumah yang mau habis, listrik yang belum dibayar, mendengar kesaksian anaknya  yang malu ke sekolah karena terus ditagih biaya tetek bengek pendidikan, hutang pada saudara hingga malu keluar rumah, serta segede begaban persoalan perekonomian hidup yang membuat tidur tak nyenyak.

Tapi perjalanan hidup haruslah dilanjutkan. Para ayah tetaplah pejuang. Buktinya tak sedikit para ayah ini mencari jalan pintas untuk membayar gundah mereka dengan cara mereka sendiri.

Diluar sana, aku sendiri menyaksikan banyak ayah yang rela bertaruh masa depan demi keluarganya membiarkan diri terjebak dilingkaran keparat para bandar narkoba. Si ayah berujung jeruji besi.

Akupun pernah menyaksikan seorang ayah yang nekat merampas tas seorang ibu di pasar akhirnya separuh mati tekapar dijalan dihajar sangar orang orang  yang melampiaskan rasa geram.

Aku juga pernah mendengarkan kisah seorang ayah yang menggadaikan moral dibangku jabatan kekuasaannya dengan cara menyulap, memanipulasi, mengada – ada  anggaran, memurkai atasan berujung hukuman pidana.

Halalkah? Yang penting istri diumah tak sempat telan pil kecewa. Yang penting ayah tak lagi mendengarkan tagis anaknya karna susu tak dibeli. Bagi sang ayah, kehidupan harus tetap berjalan. Masa depan anak harus diperjuangkan.

Sementara para istri dan anak anaknya tetap sabar menunggu kepulangan sang ayah di rumah. Tak jarang banyak istri yang larut gundah hatinya menunggu sang suami yang tak pulang padahal sang suami telah meregang nyawa dijalan berjihad memperjuangkan orang kesayangan.

Bagi yang tak sabar, bukan tak sedikit ayah memilih jalan pintas mengakhiri beban kisahnya ditiang gantungan pada seutas tali meregang nyawa.

Aku juga seorang ayah. Aku kenyang akan cerita ini. Profesiku sebagai juru warta tukang tulis di surat kabar harian membuat kisah pulu para ayah ini sudah terlalu sering aku saksikan, aku dengarkan, bahkan aku tuliskan.

 
---

Sungguh, diantara para ayah yang setiap hari jihad aku akan sebisa mungkin menirukan sikap  para ayah yang acap terbangun malam diantara gundah untuk mensejajarkan kening bersimpuh sajadah mengadukan persoalan ketir kehidupan yang tak akan pernah usai. Meyakinkan diri bahwa apapun cobaan hidup akan ada selalu jalan keluar bagi hamba Nya yang mau berserah.  

Karna pasti ia tak akan menuntaskan rasa gundahnya dalam dinginnya dinding penjara sel tahanan, bersimbah darah menerima penghakiman jalanan atau ditiang seutas tali gantungan.

---

“Ayah jangan takut, Allah maha kaya, yang namanya rejeki gak akan tertukar. Karna Bunda selalu hadirkan ayah dalam setiap doa,” pesan istriku malam tadi dipinggir ranjang.

Ku matikan lampu. Kami pun beristirahat melepas penat.   


| PERDANA RAMAHDAN |
Sumber Foto: https://www.google.com/imgres/indonesianfree.com//

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates