blog edit

Senin, 31 Oktober 2016

Jadi Penulis atau Guru Nak ?



Shafiyah diam sejenak, selepas lengkingan bunyi salam yang kami ucapkan dari bibir pintu. “Tuh, ayah sama bunda pulang,” ujar neneknya.  Tapi Syafiyah masih terlihat ling - lung seakan ingin memastikan suara yang barusan tadi adalah suara orang yang ditunggunya sejak seharian tadi.


Tiba tiba wajahnya sumringah, dihentakkan tangan dan kakinya secara tak beraturan pertanda ia ingin segera digendong ayah atau budanya. Akh… Romantisnya!. Aku bergumam dalam hati sesaat meraih tangan dan menggendong anak perempuan ku itu. Lelah hari ini pun terbayar, meski pulang belum tentu membawa uang.

Aku bersama istri memang baru sampai dirumah sekitar pukul 19.30 s/d 20.00 WIB. Karena harus menjemput dan menunggu istri terlebih dahulu sepulang dia bekerja dari Kotamadya Tanjungbalai.

Aktivitas kami mulai Senin sampai Jumat setiap hari seperti itu. Jam 07.00 pagi sudah pasti harus keluar dari rumah terkadang saya mengantarkan istri pergi bekerja. Kami punya hari istimewa di Sabtu  dan Minggu. Biasanya dua hari quality time ini akan berlalu sangat cepat.

Sekarang usia Shafiyah sudah beranjak dari 7 bulan. Selama itulah kami berusaha melewati fase dimana kami harus belajar menjadi orang tua untuk Shafiyah putri pertama kami. Belajar berfikir menjadi pribadi orang tua yang dewasa dan terus mendewasakan diri.

Kehadiran Shafiyah, menjadi pelipur lara kesempurnaan ditengah lelahnya bekerja diluar sana demi menguntai masa depan keluarga lebih baik dimasa mendatang. Shafiyah datang, membuat kami semakin bersyukur dengan kebahagiaan kecil yang kami punya ini. Kami menyadari diluar sana banyak pasangan yang berharap asa memohon untuk diberikan amanah demi kesempurnaan sebuah pondasi keluarga.

Anak ku, … Ayah dan Bunda selalu berdoa agar kelak Shafiyah diberikan kesehatan, menjadi anak yang shalehah , diberikan kecerdasan dan menjadi alasan untuk membuat orang lain bergembira disekelilingmu.

Kami sebagai orang tua selalu mendukung setiap proses yang akan kau lewati. Menjalaninya secara almiah nak, dan teruslah berproses. 

Kalau ayah inginnya, besok Shafiyah besar harus jadi penulis hebat, melampaui ayah yang hanya jadi juru coret di Koran penulis tingkat kabupaten. Besok Shafiyah harus jadi pimred atau redaktur di media media kenamaan Nasional.

Atau jejak bunda yang cita citanya ingin menjadi guru.

Rabu, 13 Juli 2016

Ini Kado Ulang Tahun mu Zef !


Zefri Idham adalah satu dari puluhan teman laki laki seusiaku yang “bernyali” untuk mengakhiri masa lajangnya usai lebaran ditahun monyet api ini. Mungkin, atau entah karena aku yang terlalu PD (percaya diri.red) setahun yang lalu dia berusaha mensugesti dirinya sendiri  soal pernikahan, setelah mendengar kabar yang tak pernah dipikirkannya.  Dalam keterbatasan yang aku punya, aku memilih menyempurnakan agama dengan menghalalkan mantan pacarku pada Juli 2015 silam. Padahal masa kuliah dulu kami sempat taruhan siapa diantara kami yang terlebih dahulu akan menikah. Skornya 1-0, aku yang pimpin.

Istimewanya, kawanku yang kerap dipanggil "Juprik" oleh keluarganya ini, mengambil moment menikah pada bulan yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW untuk melangsungkan pernikahan yakni (bulan Syawal), lanjut anak Kisaran yang kecil kecilnya mandi hujan di daerah Parsam Sidorejo ini memilih tanggal pernikahan 16 Juli 2016, atau  tiga hari setelah hari ulang tahunnya (13 Juli 2016.red).
____ 

Sebenarnya aku kenal dengan anak tunggal berdarah Aceh – Jawa ini memang belum begitu lama, yakni sejak kami sama sama di bangku SMA di Muyammadiyah 8 Kisaran, berpisah saat diperguruan tingggi karena lain kampus namun akhirnya kami bertemu kembali setelah  dia sukses mendoktrin aku untuk masuk kedalam  palung aktivitas organisasi ekstra kampus mengikuti perkaderan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang banyak mengajarkan kami rasa asam garam berkuliah sampai hidup hingga sehingga bisa survive. Otaknya memang sudah didoktrin untuk berorganisasi sejak. Kelas 2 SMA dia sudah jadi ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) di ranting sekolah,  namun dilengserkan karena pola pikirnya yang keran mainstream.

 Perkawanan kami terjalin baik bertahun tahun meski beda kampus dan hanya disatukan oleh ikatan kader di IMM walau kami sama sama mengakui sering berbeda pendapat dan pemikiran. Sempat perpetualang bersama ke Jogjakarta selama hampir sebulan mengikuti perkaderan tingkat Madya di IMM. Meski kerap bersama dalam setiap aktivitas, kami acap kali merasakan kejenuhan. Jenuh mengkhawatirkan hidup dan nasib akan masa depan yang begitu gitu saja. Ku akui, Zefri punya pola pikir yang sedikit liar. Aku sering kewalahan menghadapi “onani-onani” pikiran liarnya yang mengkhawatirkan masa depan.

Puncaknya, ditahun 2011 lalu. Dia merasakan luar biasa khawatir untuk masa depan yang belum dijalaninya. Dia mengajakku untuk hijrah dari kota Kerang (Kisaran.red) menantang keras hidup di Ibu Kota. Aku sih tidak begitu tertarik dan agak malas meladeni ajakannya karena memang kedua orang tuaku tinggal dan berdomisili di Jakarta Pusat.  Tapi dia makin terobsesi, setelah mantan bos tempat dia bekerja dulu sebagai koki salah satu restoran merek pizza beken dunia mengajaknya bergabung untuk menantang hidup disana. Kendala duit menjadi urusan terbesarnya untuk terbang ke Jakarta.

Singkat cerita, sahabat yang sering aku juluki “master plant” ini akhirnya terbang menantang keras Ibu Kota setelah aku mendadak membelikannya tiket pesawat tujuan rute penerbangan MES – CGK. Entah kenapa aku yakin saja dia akan bisa berhasil disana.

Beberapa bulan merasakan keras hidup Ibu Kota, kawan yang aku kenal tak gampang menyerah ini ternyata  dapat menjawab itu semua. Ujian demi ujian dilewatinya disana, percakapan kami lewat seluler  mungkin akulah satu satunya orang yang sempat mendengarkan dia menangis saat bercerita melalui handphone  baik saat dimana dia jatuh sakit dan tak punya duit seperpun, soal tak makan berhari hari, soal hampir ditikam preman di Pasar Senen saat hendak turun dari angkot sepulang kerja, soal ditipu bos / rekan  kerjanya, soal dia yang terkatung katung tinggal sampai akhirnya menumpang hidup di panti asuhan, dan banyak lagi. Berulang kali aku menawarkan agar datang dan tinggal saja ke kediaman orang tuaku di Tanah Abang Jakarta Pusat, namun dia kembali keras kepala.

“Kau jebak aku Ben, kau bilang kau nyusul aku sama sama kita berjuang  di Jakarta ini,” ujarnya saat itu berkali kali.  

Itu semua dia lewati, entah bagaimana aku yakin saja anak “gingging” ini bisa melewatinya seorang diri. Benar saja, hampir setahun di Ibu kota dia tak pernah sedikitpun mengeluh bahkan “ngemis” minta bantuan kepada saudara, kawan di kampungnya bahkan kepada aku sendiri. Padahal dia bisa saja memanfaatkan jaringan ikatan kader IMM nya di Jakarta untuk bertahan hidup.

Hampir setahun di Jakarta, laki laki berzodiak Cancer ini akhirnya pindah ke Texas-nya Indonesia. Batam menjadi kota tujuan perantauannya setelah dia di iming imingi bekerja menjadi koki di salah satu restoran di Batam oleh mantan bos nya terdahulu. Tapi lagi lagi, nampaknya ujian pahit getir hidup di Jakarta belum cukup baginya. Kasus yang hampir sama saat di Jakarta dulu kembali dia rasakan, bolak balik diiming imingi pekerjaan yang menjanjikan Zefri malang kembali terlantar di kota yang tak pernah dia datangi sebelumnya. 

“Alam Takambang Jadi Guru, Biar Tanduk Bekubang asal Kepala Makan”.
Falsafah ini menjadi pegangannya di bumi perantauan. Jatuh bangun berkali kali dia rasakan. Dari pengalaman hidup yang dijalaninya dia menyadari  itu semua adalah rangkaian perjalanan untuk kematangan hidup yang dia rasakan kini. Kawanku ini memang aku kenal selalu memperhatikan dan menanyakan kondisi orang tuanya tertutama Ibundanya tercinta meski berjarak ribuan kilometer dari dinding pulau. Dia sadar betul, dibesarkan tanpa kasih sayang ayah sejak kecil membuat hidupnya tertempa alami secara keras. Hidup dengan serba keterbatasan dengan ujian ujian sudah dijalaninya sejak kecil.

“Apalagi la cobak yang mau ku carik di dunia ini ben. Aku kerja cuma mau ngasi jaminan aja untuk mamak ku supaya dia bisa nikmatin hari tuanya. Selebihkan aku pengen nikah, punya istri, anak hidup sederhana. Udah !,”  kata kawan ku yang menurut pengakuan beberapa wanita ini mempunyai  tampang ponten 8 ini.

Sabtu, 16 Juli 2016. Dia datang lagi ke kampung halamannya.  Tapi kedatangannya kali ini untuk menorehkan sejarah hidup barunya untuk mencetak skor taruhan kami menjadi 1-1. Dia akan menikahi gadis yang dikenalnya saat dia masih bekerja sebagai penjaga warnet sekitar 6 tahun lalu. Namanya Lisa. Dia memacarinya saat Lisa masih duduk di kelas 3 SMA. Hingga kawanku ini merantau berseberang pulau jauh dari kampung halaman, Lisa lugu masih setia menunggu kawan ku ini, yang se angkatan kami mengakui akreditasi A untuk “Playboyy –nya”. Upss.. !

“Si Zefri sekarang udah berhasil merantau di Batam ya. Lupa dia mungkin sama kawan kawannya di Kisaran ini. Tiba tiba dengar kabar udah mau kawin aja,” celoteh salah seorang kawan di Kisaran.

Hah ! rasanya aku di tulisan ini tak perlu mengumbar, bagaimana dan apa yang dia korbankan untuk perjuangannya demi menjemput pernikahan yang dia yakini salah satu kesempurnaan dalam menjalani kehidupan.

Well... Keahlian yang aku punya hanya menulis tulisan ini Zef. Dihari ulang tahun mu, aku  yang kau kenal memang tak memiliki keahlian kado kado surprise seromantis saat ulang tahun. Aku tak  pernah lagi mengatakan kau si master – plane. Semua telah kau jawab dan kau buktikan dengan perjalanan hidupmu yang luar biasa.

Finaly... Aku hanya berusaha menyampaikan pesan lawas, yang sering diucapkan mamak ku diujung gagang telepon saat aku dinasihatinya pertama menjadi pemimpin rumah tangga (suami) ketika pertama kali menikah.

Aku juga bukan orang yang taat dalam habblu minannas. Mungkin inilah kalimat yang mungkin barangkali ,  (*maaf)  tidak sempat diucapkan mamak mu dengan sempurna ditengah keterbatasannya.  “Jangan tinggalkan Shalat!” .

Sekali lagi...  Selamat Berbahagia Kawan Ku ! Cepat cepat kau buat anak biar bisa menyamakan kedudukan skor menjadi 2 – 2.


*Insert  Foto 1.  Air Terjun dua Warna, Oktober 2011. _ Foto2. Saat di Ancol Jakarta, usai mengikuti kegiatan DAM nasional Jogjakarta, Maret 2011.

Kisaran |  13 July 2016 | 11:16 PM

Minggu, 05 Juni 2016

5 Juni / Belum Mapan

5 Juni hari ini dengan 5 Juni setahun yang lalu buat kami sama sama spesial. Istimewa karena ditanggal yang sama adalah hari pernikahan lembaran dimana hidup baru dimulai, dan pada tanggal itu tahun ini adalah awal ramadhan tiba. Belum cukup spesial  sampai disitu saja, kedatangan putri pertama kami Shafiyah, menjadi pelengkap kesempurnaan itu.

''Apalagi yang kurang sama kita yah?, ''tanya istri saya.

''Tak ada bunda...  Semua sudah sempurna,'' jawabku.

Kami saling lempar senyum, sesekali memperhatikan Shafiyah terlelap tenang di atas ayunan.

5 Juni 2015 - Barangkali saya bersama istri tidak pernah membayangkan pada tanggal itu kami akan memulai kehidupan bersama. Hanya berkomunikasi kurang dari enam bulan lamanya semua terjadi  dengan sangat cepat. Langkah kami selalu dimudahkan untuk menikah, karna memang kami ''menikah sebelum mapan''. Alhamdulillah setelah menikah kami tak pernah merasa kekurangan apapun.

Saya, dan mungkin sebahagian orang yang memilih menikah sebelum mapan merasa sangat beruntung. Berbahagialah mereka yang mendapatkan pasangan dan menikah yang belum mapan. ''Rejeki anak sholeh''.

Diluar sana, bahkan sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah teman seusia saya yang laki-laki memilih menunda menikah dengan alasan ‘belum mapan’. Saya juga tak ingin memperdebatkan apa definisi ‘mapan’ di sini, karena mapan bagi setiap orang punya ukuran yang berbeda-beda.

Jika seorang yang hendak menikah memiliki cara berpikir demikian, maka pernikahan bisa didekati dengan cara yang lebih rendah hati. Jika seorang laki-laki bisa berpikir ‘saya belum mapan’, misalnya, maka ia akan mendekati istrinya sebagai seseorang yang akan menyempurnakan hal-hal yang belum mapan dalam dirinya.

''Kapan kawiin??'' Kalau ada yang nanya'in gitu pas moment lebaran besok, jangan malu untuk menjawab...  ''Belum Mapan!!'' //

#KolongLangit 00:39/5Juni2016/

Jumat, 03 Juni 2016

Shafiyah (silent)

Sejak putri perdana saya lahir pada 26 Maret 2016 lalu, ada hal yang membuat saya tidak bisa melupakan salah satu moment tanda kebesaran Allah SWT, selain perjuangan bundanya menahankan sakit teramat akibat persalinan dilakukan dengan cara operasi.

Ketika itu, putri pertama kami yang diberi nama Shafiyah Nasywa Kartika lahir pada hari Sabtu, sekitar pukul 18:20 WIB menjelang Magrib.

''Pak Perdana, anaknya lahir selamat, ''kata seorang perawat memecahkan lamunanku cemas menghkawatirkan kondisi istri. Sudah lebih dari empat puluh lima menit aku berada di bangku tunggu itu menanti bersama ibu mertua. Jaraknya hanya selemparan batu dari ruang operasi.


''Alhamdulillah, bagaimana istri saya?, ''balasku cemas.

''Sudah, gak apa. Sehat kok pak. Silahkan bapak ambil wudhu' dulu adzankan anaknya, ''kata perawat itu lagi.

Aku bersama ibu mertua kemudian bergegas ambil wudhu menuju ruang bayi.
Shafiyah menangis lantang, suaranya kencang, dia datang ke dunia saat pergantian senja menuju malam. 

Dibalut kain mode kopompong, aku dibantu perawat mengangkat tubuh kecilnya. Ku gendong dia untuk pertama kali. Suara tangis pertamanya masih memekak telinga, tak terasa air mata bahagia meleleh seketika itu. Suara lantuman ikomah akan ku bisikkan pelan ditelinganya begitu aku meraih posisi gendongan tepat diatas tanganayahnya.

Aku hampir tak percaya, Shafiyah tadinya menangis keras begitu ku bisikkan suara ikomat dia diam tenang dipangkuan. Shafiyah seakan sadar betul kalimat tauhid yang dibacakan tersebut adalah makna keagungan sang Pencipta. Usai melafazkan ikomat, Shafiyah kembali aku letakkan ke tabung bayinya dan dia nangis lagi.

Hal tersebut ternyata kerap terjadi bahkan kini usianya yang sudah lebih dari dua bulan. Setiap kali mendengarkan suara adzan atau dentuman bait suci Al Qur'an yang dibacakan bundanya usai shalat Magrib dia selalu tenang memperhatikan.

''Tengok lah bang, asal suara adzan diperhatikannya suara itu,''kata bundanya saat memutar suara adzan di tv.

Shafiyah lahir tepat pada saat adzan magrib berkumandang. Hingga kini, setiap kali adzan didengarnya ia selalu diam memperhatikan asal suara tersebut. 

Semoga kelak menjadi anak yang shalihah mendoakan kami kedua orangtuanya.

Kisaran, Ba'da Magrib (pkl 19:20 WIB), 3/6/2016.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates