Zefri Idham adalah satu dari puluhan teman laki laki seusiaku yang “bernyali” untuk mengakhiri masa lajangnya usai lebaran ditahun monyet api ini. Mungkin, atau entah karena aku yang terlalu PD (percaya diri.red) setahun yang lalu dia berusaha mensugesti dirinya sendiri soal pernikahan, setelah mendengar kabar yang tak pernah dipikirkannya. Dalam keterbatasan yang aku punya, aku memilih menyempurnakan agama dengan menghalalkan mantan pacarku pada Juli 2015 silam. Padahal masa kuliah dulu kami sempat taruhan siapa diantara kami yang terlebih dahulu akan menikah. Skornya 1-0, aku yang pimpin.
Istimewanya, kawanku yang kerap dipanggil "Juprik" oleh keluarganya ini, mengambil moment menikah pada bulan yang
sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW untuk melangsungkan pernikahan yakni (bulan Syawal), lanjut
anak Kisaran yang kecil kecilnya mandi hujan di daerah Parsam Sidorejo ini memilih tanggal pernikahan 16
Juli 2016, atau tiga hari setelah hari
ulang tahunnya (13 Juli 2016.red).
____
____
Sebenarnya aku kenal dengan anak tunggal berdarah Aceh – Jawa ini
memang belum begitu lama, yakni sejak kami sama sama di bangku SMA di Muyammadiyah 8
Kisaran, berpisah saat diperguruan tingggi karena lain kampus namun akhirnya
kami bertemu kembali setelah dia sukses mendoktrin
aku untuk masuk kedalam palung aktivitas
organisasi ekstra kampus mengikuti perkaderan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) yang banyak mengajarkan kami rasa asam garam berkuliah sampai hidup
hingga sehingga bisa survive. Otaknya memang sudah didoktrin untuk berorganisasi sejak. Kelas 2 SMA dia sudah jadi ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) di ranting sekolah, namun dilengserkan karena pola pikirnya yang keran mainstream.
Perkawanan kami terjalin baik bertahun tahun meski beda
kampus dan hanya disatukan oleh ikatan kader di IMM walau kami sama sama
mengakui sering berbeda pendapat dan pemikiran. Sempat perpetualang bersama ke
Jogjakarta selama hampir sebulan mengikuti perkaderan tingkat Madya di IMM.
Meski kerap bersama dalam setiap aktivitas, kami acap kali merasakan kejenuhan.
Jenuh mengkhawatirkan hidup dan nasib akan masa depan yang begitu gitu saja. Ku
akui, Zefri punya pola pikir yang sedikit liar. Aku sering kewalahan menghadapi
“onani-onani” pikiran liarnya yang mengkhawatirkan masa depan.
Puncaknya, ditahun 2011 lalu. Dia merasakan luar biasa
khawatir untuk masa depan yang belum dijalaninya. Dia mengajakku untuk hijrah
dari kota Kerang (Kisaran.red) menantang keras hidup di Ibu Kota. Aku sih tidak
begitu tertarik dan agak malas meladeni ajakannya karena memang kedua orang
tuaku tinggal dan berdomisili di Jakarta Pusat. Tapi dia makin terobsesi, setelah mantan bos
tempat dia bekerja dulu sebagai koki salah satu restoran merek pizza beken
dunia mengajaknya bergabung untuk menantang hidup disana. Kendala duit menjadi
urusan terbesarnya untuk terbang ke Jakarta.
Singkat cerita, sahabat yang sering aku juluki “master plant” ini akhirnya terbang
menantang keras Ibu Kota setelah aku mendadak membelikannya tiket pesawat
tujuan rute penerbangan MES – CGK. Entah kenapa aku yakin saja dia akan bisa
berhasil disana.
Beberapa bulan merasakan keras hidup Ibu Kota, kawan yang
aku kenal tak gampang menyerah ini ternyata dapat menjawab itu semua. Ujian demi ujian
dilewatinya disana, percakapan kami lewat seluler mungkin akulah satu satunya orang yang sempat
mendengarkan dia menangis saat bercerita melalui handphone baik saat dimana dia jatuh sakit dan tak
punya duit seperpun, soal tak makan berhari hari, soal hampir ditikam preman di
Pasar Senen saat hendak turun dari angkot sepulang kerja, soal ditipu bos /
rekan kerjanya, soal dia yang terkatung
katung tinggal sampai akhirnya menumpang hidup di panti asuhan, dan banyak lagi.
Berulang kali aku menawarkan agar datang dan tinggal saja ke kediaman orang
tuaku di Tanah Abang Jakarta Pusat, namun dia kembali keras kepala.
“Kau jebak aku Ben, kau bilang
kau nyusul aku sama sama kita berjuang di Jakarta ini,” ujarnya saat itu berkali
kali.
Itu semua dia lewati, entah bagaimana aku yakin saja anak “gingging”
ini bisa melewatinya seorang diri. Benar saja, hampir setahun di Ibu kota dia
tak pernah sedikitpun mengeluh bahkan “ngemis” minta bantuan kepada saudara,
kawan di kampungnya bahkan kepada aku sendiri. Padahal dia bisa saja
memanfaatkan jaringan ikatan kader IMM nya di Jakarta untuk bertahan hidup.
Hampir setahun di Jakarta, laki laki berzodiak Cancer ini
akhirnya pindah ke Texas-nya
Indonesia. Batam menjadi kota tujuan perantauannya setelah dia di iming imingi
bekerja menjadi koki di salah satu restoran di Batam oleh mantan bos nya
terdahulu. Tapi lagi lagi, nampaknya ujian pahit getir hidup di Jakarta belum
cukup baginya. Kasus yang hampir sama saat di Jakarta dulu kembali dia rasakan,
bolak balik diiming imingi pekerjaan yang menjanjikan Zefri malang kembali terlantar
di kota yang tak pernah dia datangi sebelumnya.
“Alam Takambang Jadi Guru, Biar Tanduk Bekubang asal Kepala Makan”.
Falsafah ini menjadi pegangannya di bumi perantauan. Jatuh
bangun berkali kali dia rasakan. Dari pengalaman hidup yang dijalaninya dia
menyadari itu semua adalah rangkaian
perjalanan untuk kematangan hidup yang dia rasakan kini. Kawanku ini memang aku
kenal selalu memperhatikan dan menanyakan kondisi orang tuanya tertutama
Ibundanya tercinta meski berjarak ribuan kilometer dari dinding pulau. Dia
sadar betul, dibesarkan tanpa kasih sayang ayah sejak kecil membuat hidupnya
tertempa alami secara keras. Hidup dengan serba keterbatasan dengan ujian ujian
sudah dijalaninya sejak kecil.
“Apalagi la cobak yang mau ku
carik di dunia ini ben. Aku kerja cuma mau ngasi jaminan aja untuk mamak ku
supaya dia bisa nikmatin hari tuanya. Selebihkan aku pengen nikah, punya istri,
anak hidup sederhana. Udah !,” kata
kawan ku yang menurut pengakuan beberapa wanita ini mempunyai tampang ponten
8 ini.
Sabtu, 16 Juli 2016. Dia datang
lagi ke kampung halamannya. Tapi
kedatangannya kali ini untuk menorehkan sejarah hidup barunya untuk mencetak skor
taruhan kami menjadi 1-1. Dia akan menikahi gadis yang dikenalnya saat dia
masih bekerja sebagai penjaga warnet sekitar 6 tahun lalu. Namanya Lisa. Dia
memacarinya saat Lisa masih duduk di kelas 3 SMA. Hingga kawanku ini merantau
berseberang pulau jauh dari kampung halaman, Lisa lugu masih setia menunggu
kawan ku ini, yang se angkatan kami mengakui akreditasi A untuk “Playboyy –nya”. Upss.. !
“Si Zefri sekarang udah berhasil
merantau di Batam ya. Lupa dia mungkin sama kawan kawannya di Kisaran ini. Tiba
tiba dengar kabar udah mau kawin aja,” celoteh salah seorang kawan di Kisaran.
Hah ! rasanya aku di tulisan ini
tak perlu mengumbar, bagaimana dan apa yang dia korbankan untuk perjuangannya
demi menjemput pernikahan yang dia yakini salah satu kesempurnaan dalam
menjalani kehidupan.
Well... Keahlian yang aku punya hanya menulis tulisan ini Zef.
Dihari ulang tahun mu, aku yang kau
kenal memang tak memiliki keahlian kado kado surprise seromantis saat ulang
tahun. Aku tak pernah lagi mengatakan
kau si master – plane. Semua telah kau jawab dan kau buktikan dengan perjalanan
hidupmu yang luar biasa.
Finaly... Aku hanya berusaha menyampaikan pesan lawas, yang sering
diucapkan mamak ku diujung gagang telepon saat aku dinasihatinya pertama
menjadi pemimpin rumah tangga (suami) ketika pertama kali menikah.
Aku juga bukan orang yang taat dalam habblu minannas. Mungkin inilah kalimat yang mungkin
barangkali , (*maaf) tidak sempat diucapkan mamak mu dengan
sempurna ditengah keterbatasannya. “Jangan tinggalkan Shalat!” .
Sekali lagi... Selamat Berbahagia Kawan Ku ! Cepat cepat kau
buat anak biar bisa menyamakan kedudukan skor menjadi 2 – 2.
*Insert Foto 1.
Air Terjun dua Warna, Oktober 2011. _ Foto2. Saat di Ancol Jakarta, usai
mengikuti kegiatan DAM nasional Jogjakarta, Maret 2011.
Kisaran | 13 July 2016 | 11:16 PM