Ini hari kedua. Pagi ini cuaca Medan
sedang hujan. Dari dalam ruang berukuran seperempat lapangan sepakbola enam
unit pendingin ruangan berdiri tegak menghembuskan udara sejuk. Dinginnya itu
sampai membantai persendian tulang. Sialnya posisi dudukku persis dibawah mesin
pendingin raksasa itu. Maka jadilah aku, seperti ayam sayur kedinginan berteduh
dibawah pohon.
Tapi, tentu saja itu bukan menjadi
alasan penciut semangat ku jadi kendor untuk ikut tahapan ujian kompetensi yang
akan dimulai tepat pukul 08:00 WIB. Ku pandang satu satu wajah beberapa
orang reaksinya sama. Sama sama menjepit tangan diantara ketiak.
Sejurus kemudian, seorang pria
berjalan pelan menuju salah satu meja bundar. Delapan kursi yang tersedia hanya
tiga yang berpenghuni. Beliau adalah Widodo Asmowitoyo, mantan pimpinan
redaksi surat kabar Pikiran Rakyat. Sampai hari ini media tersebut masih
pemegang oplah terbesar di Jawa Barat dan sekitarnya.
"Yang lain belum datang ya
?!" dialeg Jawa kental Widodo membelah dingin ruangan. Kemudian, kami
serentak menjawab.
Dua temanku itu kemudian masing
masing menyodorkan sebuah buku untuk ditandatangani. Dalam sesi sebelumya,
Widodo jadi pembicara memaparkan materi kode etik jurnalistik. Ia membagikan
tiga buah buku pada peserta yang aktif bertanya. Dua diantaranya satu meja
bersama ku.
Saat dia menandarangani bukunya, aku
hanya menonton. Tak ku sangka, dia mengeluarkan sebuah buku lagi dari dalam
tasnya kemudian dia bubuhkan tanda tangan dilembar pertamanya.
Datang tepat waktu diantara peserta
lain saat uji kompetensi berlangsung, beliau hadiahkan saya buku yang ia tulis
sendiri.
"Jadi wartawan itu harus
on time. Kamu masih muda harus disiplin" pujinya pagi itu sembari
menyerahkan cenderamata buku untuk saya.
- - - -
Selama puluhan tahun mengabdikan
diri di dunia jurnalistik membuat ia harus kehilangan (ginjal) salah satu organ
dalam tubuhnya. Pun begitu, ia mengaku tak kapok.
Sekarang aktivitas beliau banyak
disibukkan berkeliling Indonesia untuk menguji kompetensi pelaku kuli tinta.
Manis sekali.
Ujian ini memang membuat tegang otak
kami walaupun materi yang diujikan seputar pekerjaan sehari hari. Diantara jeda
waktu rehat aku berusaha menggali sedikit cerita pria yang dua hari ini menguji
ku. Tapi bukan soal ujian, melainkan tentang judul “Hidup Dengan Satu Ginjal” –
perjalanan seorang wartawan ( buku yang ia
tulis ).
Aktifitas pekerjaan yang padat
selama aktif bertugas sebagai wartawan dilapangan membuat ia mengabaikan harta
yang paling berharga dalam hidup yakni kesehatan. Apalagi semenjak ditugaskan
jabatan sebagai redaktur yang memegang halaman satu di surat kabarnya.
Satu sisi kerja dibidang jurnalistik
menempa wartawan “sejati” untuk berkomitmen penuh dan bersiaga menjalani
profesi selama 24 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Disisi lain, kerja
jurnalistik yang penuh tekanan dan dikejar waktu terkat dengan tenggat (deadline) menerpa wartawan profesioal
untuk bekerja cepat, tepat dan akurat.
Widodo memang hidup dijaman wartawan
Indonesia belum mengenal computer dan teknologi digital seperti sekarang ini. Karya
tulisnya yang berkualitas membuat namanya kian dikenal pembaca. Demikian, dia
ikhlas saja bekerja. Mengalir begitu saja.
Singkat cerita, setelah melewati pemeriksaan
medis yang panjang beliau akhirnya merelakan satu organ tubuhnya diangkat dan
hidup dengan satu ginjal sejak Agustus 2004.
“Bekerja menjadi wartawan, jangan
lupakan kesehatan,” pesan singkat dari pelaku jurnalistik senior. Buku itu dia
tandatangani.
“Untuk kamu, Perdana Ramadhan, semoga
bermanfaat” katanya.-