blog edit

Rabu, 20 September 2017

Wartawan Satu Ginjal



Ini hari kedua. Pagi ini cuaca Medan sedang hujan. Dari dalam ruang berukuran seperempat lapangan sepakbola enam unit pendingin ruangan berdiri tegak menghembuskan udara sejuk. Dinginnya itu sampai membantai persendian tulang. Sialnya posisi dudukku persis dibawah mesin pendingin raksasa itu. Maka jadilah aku, seperti ayam sayur kedinginan berteduh dibawah pohon. 




Tapi, tentu saja itu bukan menjadi alasan penciut semangat ku jadi kendor untuk ikut tahapan ujian kompetensi yang akan dimulai tepat pukul 08:00 WIB. Ku pandang satu satu wajah beberapa orang reaksinya sama. Sama sama menjepit tangan diantara ketiak.

Sejurus kemudian, seorang pria berjalan pelan menuju salah satu meja bundar. Delapan kursi yang tersedia hanya tiga yang berpenghuni. Beliau adalah Widodo Asmowitoyo, mantan pimpinan redaksi surat kabar Pikiran Rakyat. Sampai hari ini media tersebut masih pemegang oplah terbesar di Jawa Barat dan sekitarnya. 

"Yang lain belum datang ya ?!" dialeg Jawa kental Widodo membelah dingin ruangan. Kemudian, kami serentak menjawab.

Dua temanku itu kemudian masing masing menyodorkan sebuah buku untuk ditandatangani. Dalam sesi sebelumya, Widodo jadi pembicara memaparkan materi kode etik jurnalistik. Ia membagikan tiga buah buku pada peserta yang aktif bertanya. Dua diantaranya satu meja bersama ku. 

Saat dia menandarangani bukunya, aku hanya menonton. Tak ku sangka, dia mengeluarkan sebuah buku lagi dari dalam tasnya kemudian dia bubuhkan tanda tangan dilembar pertamanya.

Datang tepat waktu diantara peserta lain saat uji kompetensi berlangsung, beliau hadiahkan saya buku yang ia tulis sendiri.

 "Jadi wartawan itu harus on time. Kamu masih muda harus disiplin" pujinya pagi itu sembari menyerahkan cenderamata buku untuk saya. 



- - - - 

Selama puluhan tahun mengabdikan diri di dunia jurnalistik membuat ia harus kehilangan (ginjal) salah satu organ dalam tubuhnya. Pun begitu, ia mengaku tak kapok.

Sekarang aktivitas beliau banyak disibukkan berkeliling Indonesia untuk menguji kompetensi pelaku kuli tinta. Manis sekali.

Ujian ini memang membuat tegang otak kami walaupun materi yang diujikan seputar pekerjaan sehari hari. Diantara jeda waktu rehat aku berusaha menggali sedikit cerita pria yang dua hari ini menguji ku. Tapi bukan soal ujian, melainkan tentang judul “Hidup Dengan Satu Ginjal” – perjalanan seorang wartawan ( buku yang ia tulis ).

Aktifitas pekerjaan yang padat selama aktif bertugas sebagai wartawan dilapangan membuat ia mengabaikan harta yang paling berharga dalam hidup yakni kesehatan. Apalagi semenjak ditugaskan jabatan sebagai redaktur yang memegang halaman satu di surat kabarnya.

Satu sisi kerja dibidang jurnalistik menempa wartawan “sejati” untuk berkomitmen penuh dan bersiaga menjalani profesi selama 24 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Disisi lain, kerja jurnalistik yang penuh tekanan dan dikejar waktu terkat dengan tenggat (deadline) menerpa wartawan profesioal untuk bekerja cepat, tepat dan akurat.

Widodo memang hidup dijaman wartawan Indonesia belum mengenal computer dan teknologi digital seperti sekarang ini. Karya tulisnya yang berkualitas membuat namanya kian dikenal pembaca. Demikian, dia ikhlas saja bekerja. Mengalir begitu saja.

Singkat cerita, setelah melewati pemeriksaan medis yang panjang beliau akhirnya merelakan satu organ tubuhnya diangkat dan hidup dengan satu ginjal sejak Agustus 2004.

“Bekerja menjadi wartawan, jangan lupakan kesehatan,” pesan singkat dari pelaku jurnalistik senior. Buku itu dia tandatangani.

“Untuk kamu, Perdana Ramadhan, semoga bermanfaat” katanya.-


Sabtu, 02 September 2017

Menakar Calon Penantang Ketua Aklamasi di Konferensi PWI Asahan

Agaknya, saat ini tetua di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tingkat Kabupaten Asahan sedang ber - public opinion jelang pesta perhelatan demokrasi pucuk pimpinan organisasi wartawan tertua di Indonesia di tingkat kabupaten Rambate Rata Raya yang rencananya bakal dihelat tangal 9 September 2017 mendatang.

Bagaimana tidak, jelang konferensi  PWI Asahan yang di nahkodai oleh Awaluddin selama dua periode itu seakan “kepayahan”  untuk mecari pengganti sosok pucuk pimpinannya. Rumor beredar, hanya ada nama Indra Sikoembang yang paling siap mengisi formulir berkas pencalonan ketua.  Bah ! Jika seperti ini musyawarah pemilihan ketua terancam aklamasi. 


Tentu saja, yang paling dibuat - ‘gerah’ jelang konferensi adalah Nurkarim Nehe. Dalam level kaderisasi ditubuh organisasi kewartawanan itu di Asahan bahkan sampai level  Sumatera Utara, Nehe boleh dibilang paling punya gengsi. Wajar saja, dia pernah mengecap sebagai ketua dua periode dimasanya.
Kegusaran  Nehe tak bisa dia sembunyikan.  Hal itu ditunjukkannya dalam salah satu postingan komentar di group watshap  himpunan wartawan yang memiliki anggota puluhan orang baik media cetak, maupun elektronik di Kabupaten Asahan.

“Jadi … jika Indra Sikoembang calon tunggal, pertama : merubah tradisi yang ada. Kedua: mematikan dinamika padahal ini organisasi profesi yang mengutamakan skill dan profesionalisme*,” tulis wartawan berkompetensi tingkat  utama ini. | *watshap group D.K  |1/9/17| 07:26 am.

Nehe paham betul, dalam kerangka organisasi profesi sekaliber PWI tentu dinamika haruslah diciptakan bukan ditunggu apalagi momentumnya adalah Konferensi.  Maklum saja, Waka (sebutan lain Nehe) selain termasuk tokoh senior dalam segala line up, dia boleh dikatakan kenyang untuk urusan organisasi, termasuk selain memimpin PWI Asahan dua periode dan kini aktif memimpin KONI Asahan dua periode pula.

Dalam tulisan obrolan masih dalam pesan watshapnya Nehe turut menyampaikan bahwa awak Waspada hanya akan menjadi peserta suksesi dan mendukung para calon ketua dengan memberikan suara secara baik, ikhlas bahkan tanpa imbalan jabatan sekalipun. Artinya, lima anggota PWI Asahan dari group Waspada hampir dipastikan tak bakal melenggang ke bursa calon ketua. Keputusan ini mereka sebut dengan “Pertimbangan Santun Waspada”.

Mempelajari konferensi terdahulu saat terpilihnya Awaluddin di periode pertama Awal terpilih  dengan vote 7 – 2, lima tahun berikutnya dalam agenda yang sama wartawan Analisa ini  kembali memimpin, setelah menang aklamasi dengan status petahana. Perjalanan Awaluddin sama seperti seniornya Nurkarim Nehe saat didaulat menjadi ketua PWI Asahan dua periode berturut turut.

Nama Indra Sikoembang (sekretaris) wartawan Medan Bisnis,  sebagai juru masaknya dia PWI Asahan selama dua dekade berturut turut  mendampingi Awaluddin sebagai ketua. Agaknya, Indra sedang diatas angin. Dia terancam menang aklamasi. Tapi tunggu dulu, konstalasi jelang konferensi bisa saja berubah.

Nama Heru Sihotang salah satunya yang dijargonkan menantang Indra.  Anak dari  almarhum Herman Sihotang yang juga merupakan salah satu tokoh wartawan lawas di Asahan ini “kadung” digadang gadangkan rekannya untuk bertarung meski mayoritas pendukungnya berasal dari luar anggota PWI.

Sejak remaja, Heru akrab didunia jurnalistik tak heran eksistensi dan konsistensi yang dimiliki membuat namanya cukup dikenal khalayak. Terkait rencana pencalonan namanya di bursa calon ketua PWI Asahan sebenarnya dia tak ingin sesumbar.  Beberapa media cyber di Asahan mengaku telah mendukung penuh rencana pencalonan untuknya meski tak terlibat aktif langsung dalam konferensi.

Sebagai organisasi profesi  PWI milik publik walau terkesan sedikit ekslusive sebab tak mudah masuk menjamah kedalam meski seprofesi wartawan sesuai peraturan dan ketentuan dewan pers.  

Konferensi adalah proses musyawarah tertinggi yang diatur setiap bidak langkahnya. Sejatinya, memang tak pernah ada yang mengharamkan kemenangan merebut pucuk pimpinan secara aklamasi.

Selamat bermusyawarah !
// Perdana Ramadhan. /BENS
** Penulis adalah simpatisan dan bukan anggota PWI Asahan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates