blog edit

Jumat, 16 November 2012

Senyum Mahal Ibu di Prosesi Wes Udah... ?

Pagi ini adalah moment yang pastinya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku. Bagaimana tidak, kamar kosku ramai tak seperti biasanya, hari ini begitu special kawan, karena aku kedatangan kedua orangtuaku bersama ke dua adikku yang masih kecil, mereka sengaja harus berangkat jam 4 jam lebih awal dari kampungku untuk melihat putra kebanggaan mereka memperoleh gelar akademisinya setelah kurang lebih 4 tahun bergelut dalam dunia pendidikan yang maha. Tepat pukul 08.00 pagi ini, aku bersama sekitar 400 mahasiswa dari jurusan kami akan di wisuda.

Ayah kelihatannya tampak lebih cerah dan berwibawa dengan kemeja batik kusam yang selalu ia pakai disetiap hari Raya Id, Ibu ku tak mau kalah, aku tak habis pikir bagaimana Ibuku memakai baju kebaya terbaiknya dan harus menggendong kedua adikku ini dalam sepeda motor butut dengan perjalanannya dari kampung, pengorbanan mereka hari ini menempuh jalan ratusan kilometer dari kampung untuk melihat aku memakai topi toga, menjadi pematik semangat untuk berangkat ke aula kampus tempat di mana prosesi sakral itu akan dilaksanakan.

Pukul 07.15 kedua orang tuaku telah memasuki tempat acara wisuda, padahal telah jelas dalam undagan acara baru akan dimulai pada pukul 08.00 WIB. Mereka pasti telah berspekulasi untuk bisa mendapatkan posisi duduk paling depan untuk acara yang luar biasa ini.



Wajah sumringah rekan-rekan sekampusku terlihat puas dan penuh kemenangan, ketika mereka memboyong kedua orang tua mereka masuk ke dalam aula. Lima menit lagi acara akan dimulai, akan tetapi entah kenapa langkahku berat untuk melangkahkan kaki masuk kedalam Aula ini, padahal aku mengetahui kedua orang tuaku telah duduk dibangku terdepan hanya untuk melndengar nama anak kebanggan mereka dipanggil.

Aku tak tahu apa yang terjadi dalam batinku, tiba-tiba gejolak dan perang didalam jiwa tentang apa yang aku perbuat sebelumnya. Aku semakin pitam ditengah ramainya susasana di sekitar aula, padahal acara telah berlangsung 5 menit. Hingga pada akhirnya aku masuk aula dan mencari bangku.

Aku duduk di barisan belakang dideretan antara wisudawan yang lainnya. Disebelah kanan dideretan bangku para orang tua duduklah kedua suami istri yang usianya telah lanjut, aku tak mengenal siapa wisudawan dari kedua orang tua ini, aku paham dibenak mereka sekarang adalah moment ini hanya akan mereka saksikan sekali dalam seumur hidup, menyaksikan anak kebanggaanya yang mendapat gelar sarjana. Semenara itu aku melihat dari depan kedua orang tuaku yang duduk dengan pandangan liar, mungkin mereka sedang mencari-cari dimana posisi dudukku.


Aku jadi teringat sekitar 3 bulan yang lalu, ketika pulang kekampung dan meminta uang dari kedua orangtuaku dengan jumlah yang lumayan hingga belakangan ku ketahui dari adikku Ibu harus menjual cicin emas pernikahannya yang telah ia simpan selama hampir setengah abad demi mencukupi keperluan akhir kuliahku. Enah mengapa rasanya saat itu aku merasa tak berdosa memindahkan jutaan rupiah dari tangan ibuku kepada seseorang yang bagiku adalah “malaikat” untuk membayar hasil skripsi yang ia kerjakan. Aku membeli skripsi, bagi sebagian orang, memang ini bukan hal yang tabu lagi dan hasil dari semua itu aku dapatkan hari ini.

Acara wisuda masih berlanjut dan aku masih menunggu protokoler memanggil namaku. Tak sadar air mata meleleh, aku tak percaya apa yang kulakukan hari ini kepada kedua orang tuaku. Mereka rela datang dari kampung untuk menyaksikan anak kebanggaannya yang mendapat gelar sarjana, dengan bukan hasil dan kerja kerasku, melainkan dengan kebodohan dan kemunafikan terhadap diriku sendiri. Rasanya aku sanggup untuk maju ke podium ketika rektor menyematkan selempang dan memindahkan tali topi toga yang aku kenakan. Senyum kegembiraan kedua orangtuaku membuat aku semakin menyesali dan meratapi betapa aku benar-benar merasa bodoh dan bersalah terhadap mereka.

Aku naik, ke atas podium, sekali lagi kulawan rasa gelisah hati ini yang telah terlanjur menyakiti hati orang tuaku meski mereka tak mengerti dan tak mengetahuinya tentang apa yang aku lakukan terhadap mereka. Kubiarkan rektor memnyematkan selempang dan memberikan selamat kepadaku, sementara itu aku tak berani menoleh kebelakang untuk melihat senyum kedua orangtuaku. Air mataku meleleh tak terbendung lagi.

Selesai penyematan aku keluar aula sementara itu air mataku tetap meleleh, beberapa orang heran dengan tingkah lakuku, aku ingin menyendiri sampai akhir acara ini selesai untuk menenangkan diri. Dalam penyendirian dari suasana haru dan hiruk pikuknya acara wisuda aku terus merenung dan menyesali apa yang aku lakukan.

Prosesi wisuda berakhir, acara selesai, dengan rasa penuh penyesalan ku terobos kerumunan tamu dan undangan untuk mencari kedua orang tuaku, hingga aku menemukan mereka, rasa penyesalan dan bersalahku tak terbendung lagi, air mata dan sesak di dada ini terus berkecamuk dalam diriku. Begitu aku temukan kedua orang tuaku, aku peluk erat mereka berdua, aku tak perduli dengan keadaan sekelilingku, aku merasa bersalah terhadap mereka dengan membayar senyum dan kebanggan mereka hari ini dengan membohongi mereka. Ayah dan Ibuku bingung dengan tingkahku hari ini. Aku terisak-isak menangis dan memeluk erat sosok renta Ibu dengan berulang-ulang mengucapkan rasa penyesalannku terhadap mereka. Pandangankupun gelap hingga aku tak sadarkan diri…

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates