blog edit

Sabtu, 17 Agustus 2019

Ironi Warga Bukit Kijang Asahan, Tak Merdeka dari Gelap di HUT RI ke 74


- Waktu orang Jakarta heboh teriak mati lampu, mungkin masyarakat Sumatera Utara sedang menertawakan mereka. Kok keknya cengeng kali. Baru sehari dapat pemadaman listrik hebohnya bukan main. Sampai sampai Presiden Jokowi menegur langsung pimpinan PLN nya.

Hebohnya juga sampai jagat selebriti yang gak mau ketinggalan. Raffi Ahcmad dan keluarga sampai ngungsi ke Singapore dan jadi trending topik gak penting seharian dijagat maya.

Setelah itu muncul tagar ramai di medsos menuntut kompensasi pemadaman listrik ke PLN. Ih, cem betul aja lah.
Kondisi mati lampu kemarin, sebenarnya kita sudah memaklumi kalau rakyat Indonesia itu, kiblatnya masih warga Jakarta dan sekitarnya. Itu pasti.



foto : Anak anak di Dusun Bukit Kijang belajar mengaji menggunakan lampu minyak. / Foto.Rudianto

Padahal persoalan krisis listrik ini banyak terjadi diberbagai daerah di Indonesia, Sumatera Utara misalnya. Tanah Naga Bonar ini terhitung lebih dari 15 tahun defisit. Pembangkitnya berusia gaek dan setiap tahun tak pernah bisa mengimbangi peningkatan kebutuhan listrik masyarakatnya.

Mati lampu bagi kami yang di Sumut ini cukup ditanggapi slow selow aja. Meski tiap ada pemadaman sesekali memaki dalam hati juga.

***

Jauh dari Ibu Kota, persoalan listrik juga dialami oleh warga dusun III Bukit Kijang Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning Kabupaten Asahan. Lima puluh tahun lebih lamanya kampung itu dihuni manusia selama itupula tak pernah ada pembangunan listrik disana. Kondisi warga Bukit Kijang cepat viral setelah ramai di follow up media media.

Sekitar sembilan lalu, warga kampung ini sempat merasakan bantuan mesin genset dari PNPM yang pembelian bahan bakar solarnya saja bisa habisin duit Rp 400 ribu per minggu dengan jam operasional listrik hidup mulai magrib sampai pukul 10 malam. Dana itu dikutip swadaya oleh masyarakat. Tak sampai dua tahun genset rusak dan tak pernah bisa dipakai lagi.

Kampung ini memang letaknya jauh terpelosok dari Kisaran Ibukota Kabupaten Asahan. Berada ditengah area perkebunan milik PT PP Lonsum. Tiap tahun perjuangan warga desa ini mengalir tiada henti. Menuntut merdeka dari gelap.

Mereka terus mengusulkan usulan pembangunan lewat Musrenbang mulai dari tingkat desa. Tapi entah mengapa bolak balik usulan itu gembos ditengah jalan. Tak sampai pada eksekusi penyediaan listrik sesuai harapan warga disana.


Ironi warga Bukit Kijang yang hari ini masih mengharapkan kemerdekaan dari gelap. Upaya demi upaya sudah dilakukan. Terakhir Pemkab Asahan beralasan kompensasi ganti rugi sebesar 600 juta rupiah lebih yang diminta pihak perkebunan dianggap terlalu membebani APBD untuk menebang serta mengosongkan area lahan disana yang akan dipasang tiang tiang listrik.

Lah bukannya selama ini ada CSR dari perkebunan? Terus anggota DPRD yang dari daerah sono kemarin pada kemana aja ? Memuakkanlah pokoknya ! Wajarlah nettizen nge-gass!

Banyak orang yang murka luar biasa melihat kondisi ini. Mengapa dari jaman dulu tak pernah ada solusi. Jika biaya menghadirkan operasional listrik mahal jadi alasan, bisa jadi memunculkan solusi alternatip menghadirkan panel listrik bertenaga matahari (Surya) melalui instansi dinas terkait. Bisa kan?

Wajar warga Bukit Kijang teriak teriak belum merdeka. Mereka Murka Luar Binasaaaa !!! Aktivis aktivis juga ikut geram. Pemerintah tak hadir disana.

Puuun… , aksi demonstrasi kelompok aktivis pemuda di DPRD Asahan bertepatan dengan Paripurna Istimewa HUT RI yang jawab Pak Kapolres kok. Padahal urusan Bukit Kijang gak ada sangkut pautnya dengan kondisi Kamtibmas disana. Heuheu…

Oh, Pak Pe-el-te Terhormat… Awak bukan ngajarin ya. Tapi barangkali anda tau. Maap ini beribu maap.

Bukit Kijang itu seksi dijadikan "jualan politik" jelang 2020. Ketimbang bangun mall mall pelayanan yang ujug-ujug dimunculkan itu. Hehe....

Gak caya tes lah! Mudah mudahan simpati rakyat mengalir untuk anda. Berbuatlah secepatnya. Merdekakan warga Bukit Kijang dari gelap.

Gak kesian apa, anak anak belajar dan ngaji dalam gulita. Kek mana Bumi Rambate Rata Raya ini bisa RSCM.

Merdekaaahh !!!

Perdana Ramadhan - 17 Agustus 2019 dibawah terik panas dalam lapo teh manis Pak Yantooo.... //
:)

Selasa, 13 Agustus 2019

Melacak Jalan Mantan Aktivis Mahasiswa Lepas Kuliah



~ Hidup mahasiswa! Pekikan lantang ini biasa digaungkan dari kakak kakak senior diera perkenalan mahasiswa baru saat mereka tampil heroik dengan latar belakang wawasannya dihadapan cama.

Itu, diantara mereka ada paling vokal. Punya kharisma biasa di luar, berwawasan luas. Menguasai panggung. Biasanya jumlah mereka tak banyak. Minoritas. Pemekik anti kemapanan. Bacaannya berhaluan kiri. Hapal luar kepala teori teori Karl Max, punya buku buku teori revolusi berhaluan komunis semisal Fidel Castro atau Che Guevara.

Kelompok ini paling laik disebut aktivis mahasiswa. Biasanya lahir dari eksistensi organisasi ekstra kampus yang diturunkan oleh seniornya terdahulu dijadikan panutan.

Barang tentu debat debat table tiap hari jadi santapan manalaka mendiskusikan hal hal kecil diluar sudut pandang orang kebanyakan. Itu kelebihan mereka dan iklim yang harus tetap diciptakan. Penyandang label aktivis mahasiswa terbiasa menciptakan nalar pikir diluar sudut pandang orang biasa. Panggung aspirasi mereka lewat demonstrasi turun jalan. Tak hanya pemikir, aktivis kampus juga lihai berorasi bebas. Menyampaikan isi kepalanya lewat megaphone ala ala demonstran reformasi.



Demokrasi dalam kampus jadi panggung yang dinanti. Perebutan pucuk pimpinan ketua diberbagai lini jadi pertaruhan jurus untuk adu kekuatan otak, stategi, nasib hingga anggar keras tegang otot leher. Biasanya selalu dibimbing abang abang senior dari luar arena.

Dialetika dan jalan hidup mereka dalam kampus sepertinya terlalu rumit dan selalu rumit bahkan terkesan dicipta ciptakan. Tapi banyak sekali yang menikmati proses ini. Karenanya tak jarang kebanyakan (mungkin) penyelesaian tugas akademiknya melebihi jumlah semester yang disiapkan. Bisa 10 - 12 bahkan 14 semester malah.

Entahkn terlmpau menikmati proses, golongan cukup dimaklumi untuk bisa tamat dari kampusnya. Penyusunan skripsi yang menjadi rintangan akhir selalu menjadi rentang waktu yang panjang. Banyak yang berleha leha untuk mengejar wisuda. Sebagahian kecil (mungkin) bagi aktivis entah mengapa begitu menikmati proses ini ketimbang mengejar gelar akademik sarjana.

Haha... tidak semudah itu ferguso !

Sebagaian besar aktivis tahu persis situasi ini. Oke, anggaplah proses rumit tadi akhirnya menamatkan mereka. Tamat kuliah. Lalu kemana kita ? (Mereka)?

Enggak. Sekali lagi golongan ini anti kemapaman. Oke?!.

Sedikit sekali bahkan jarang kelompok ini melirik peluang sebagai abdi negara dalam korps pegawai ngerii. Lalu ?

Bukan mentang mentang fresh graduate dengan lampiran CV di pengalaman organisasi yang lebih panjang dari riwayat daftar hidup mereka bisa melanggeng kerja di perusahaan ternama, dan minta digaji Rp 8 juta sebulan. Eh?!

Biasanya ya. Ini biasanya - HRD yang membaca CV CV mentereng tadi akan lebih mempertimbangkan mantan pentolan aktivis mahasiswa ini untuk bergabung di perusahaan mereka. Pikir radikalnya sekali lagi bisa jadi ancaman merusak sendi sendi organisasi perusahaan. Heuheu...

Oke kemana mantan aktivis ini lagi ? Ada yang lebih memilih menjaga idealisnya. Merawat nalar pikir dengan mengejar atau melanjutkan pendidikan jalur bea siswa dengan segala peluang yang ada. Kuliah lanjut S2, bisa jadi tenaga pengajar di kampus atau sekolah.

Atau ada juga yang malah terlanjur berkiblat pada satu dua senior yang boleh dianggap jadi panutan.

Ada senior punya kantor dan berserikat Law Office maka pandai pandailah tangkap peluang disana. Bantu bantu selesaikan perkara atau menambah perkaranya.

Misal punya senior yang sukses di Politisi pelan pelan ikut rekam terbang jejaknya. Maju dalam kontestasi politik. Jadi caleg dengan harapan bisa melanjutkan perjuangan suara suara kaum marjinal terpinggirkan. Slogan anti kemapaman lagi lagi dipekikkan. Sukur sukur bisa maju dipilih rakyat.

Yang hobi nulis jadi Jurnalis bisa jadi jalan aktivis selanjutnya. Ideologi perjuangannya hampir- hampir mirip. Sama sama punya slogan anti kemapaman dan perjuangan marjinal. Itu kalau belum dimasuki kepentingan pemilik dan pengaruh independensi media. Kadang kadang bisa bikin goyang juga. Oke bisa jadi dianggap bertentangan dengan falsafah aktivis itu sendiri.

Ada yang keluar dan akhirnya bikin media sendiri. Kemudahan interaksi digital dijaman revolusi dunia 4.0 ini membuat media gampang gampang enteng. Tinggal lobi pemodal, bereskan ijin sana sini, siapkan platfrom medianya dan jadi. Bisa berjuang sesuai naluri dan kreasi sendiri.

Banyak juga yang gak kemana mana tapi ada dimana mana kok. Misalnya tetap menjaga konsistensi pikir dan falsafah anti kemapaman tadi di sosial media. Rajin pidato dan ceramah membakar dihadapan junior dalam berbagai kesempatan orientasi perkaderan. Mereka masih tetap hidup dan ada.

Ada lagi yang boleh melacak kehidupan para mantan aktivis mahasiswa selepas mereka kuliah. Hidupnya memang begitu. Rumit nan berat. Dimana lapak ngopi kita? Heuheu... //

- Perdana Ramadhan -

13 Agustus 2019 - di siang nan terik pinggir paret busuk. //

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates