Oleh
perdana oi bens
“
Beneran nih mas, serius ??? aduh makasih sekali ni yah mas
soalnya dari tadi pagi saya dagang baru
ini jualannya “ raut wajah sumringah si pedagang kopi asongan,
bak pensiunan PNS yang terima uang pensiunan yang setelah keluar dari kantor
pos. Seakan tak percaya akan pecahan uang sepuluh ribu yang diterimanya.
Cerita ini nyata saya alami dan begitu banyak pesan moral yang
didapat darinya mengajarkan tentang bagaimana cara bersyukur menikmati apa yang
kita miliki sekarang bukan dengan berambisi ingin memiliki dan begitu meratapi
apa yang tidak kita punya.
Ketika itu pada maret
2011 silam, saya di Jakarta, bersama
seorang teman, kami baru saja pulang dari Yogyakarta setelah mengikuti
pengkaderan nasional sebuah organisasi ekstra kampus. Sudah hampir satu minggu
setelah kegiatan pengkaderan terdampar di Jakarta karena kehabisan ongkos gak bisa pulang ke Medan. Karena tempat kami
menginap sementara tinggal di derah menteng Jakarta pusat, hanya sekitar dua ratus meter dari monas icon kota ini, iseng kami sore itu akan melepaskan
penat di monas.
Sore itu kami berdua
yang udah memang gak punya tujuan lagi mau kemana setelah seharian mencoba
mencari ongkos kepulangan balik ke Medan dengan eksplorasi ke DPR RI di senayan
mendatangi para wakil rakyat yang punya suara dari daerah Sumut yang sekarang
berkantor di senayan untuk sekedar silaturahmi dan memohon petunjuk pengajuan
UUD* (ujung-ujungnya duit ) kepulangan
jurus ini memang biasa dipakai para aktifis mahasiswa kere, yang punya mental juang
tapi punya semangat seperti kami. Sore itu kami berdua duduk di daerah
silang monas bercerita meratapi nasib yang telah lebih dari dua minggu
terdampar di Jakarta setelah eksplorasi ke markas wakil rakyat tak satupun
membuahkan hasil karena memang kami datang disaat yang tidak tepat karena
ketika itu ada pembahasan RUU di DPR.
Meratapi nasib,
mengobrol ngalur ngidul sana sini,
dan akhirnya teman saya sepakat untuk melengkapi sore kami dengan secangkir
kopi untuk selanjutnya dinikmati berdua sekedar mencuci mulut yang basi karena
seharian eksplorasi, kami sadar ketika itu sisa uang yang kami miliki berdua
hanya Rp30.000 pecahan sepuluh ribu satu
lembar dan pecahan duapuluh ribu satu lembar. “Bang kopi !!” hardik saya kepada si abang tukang kopi asongan yang
baru melintas, tanpa cincong lagi si
abang membuat dua gelas kopi yang kami berdua pesan. Kopi telah siap saji dan
saya mengeluarkan pecahan uang Rp 10.000 kepada si abang tukang kopi. Sejurus
kemudian si abang tukang kopi bertanya “mas,
ada uang pas nye aje gak enam rebuu, soalnya saya gak ada kembaliannya nih ? ”
“aduuh, gak ada mas uang kecil saya cuma itu ! “ balas saya. “kalo gitu bentar yah mas, mau tukerin uangnya dulu “
dan saya pun mengangguk walau agak sedikit curiga pada si tukang kopi tadi
karena sempat “negative thinking”
besar kemungkinan tukang kopi tadi gak akan balik hanya untuk mencari tukaran
uang kembalian empat ribu. Untuk kota metropolitan yang seperti ini udah biasa
pikirku, bahkan jika si tukang kopi tak mengantarkan kembali uangnya aku pun
harus iklas karena memang sisa uang kami untuk bertahan hidup di sini sampai
dengan batas waktu yang tidak ditentukan tinggal 20.000.
Beberapa belas menit
kemudian si tukang kopi balik masih dengan membawa uang pecahan sepuluh ribu
yang saya berikan tadi. “mas, saya udah
keliling cari tukerannya tapi tetep aje kagak adee”. Aduuh aku seakan tak
percaya dengan si tukang kopi ini, yang sebelumnya sempat buruk sangka
dengannya, untuk pedagang asongan kelas ibukota seperti ini masih ada orang
yang jujur seperti dia. “truss gimana yah
mas, ? “ balas si tukang kopi lagi memecahkan khayalanku tentangnya. “ ya, udah mas ga usah dikembaliin, ambil
aja sisa kembaliaannya “ balasku. “
Bener ni mas, serius ??? benerann ??? aduh makasih sekali ni yah mas soalnya
dari tadi pagi saya dagang baru ini jualan buka dasarnya “ raut wajah
sumringah si pedagang kopi asongan itu, bak pensiunan PNS yang terima uang
pensiunan yang keluar dari kantor pos. Seakan tak percaya akan uang sepuluh
ribu yang dipegangnya. Hanya dalam tempo belasan menit dengan kejujurannya aku
pikir ia berhak untuk apresiasi sisa kembalian walau hanya 4.000 untuknya walau
kini aku tinggal mengantongi 20.000 lagi bertahan di kota metropolitan ini
untuk mencari tiket kepulangan sampai batas waktu yang tidak di tentukan.
Setidaknya kami masih bisa bersyukur masih punya sisa 20.000 lagi, kalaupun
harus terpaksa masih ada barang pribadi yang bisa kami jual untuk bertahan
disini pikirku.
Sore sampai menjelang
malam yang putus asa itu kami habiskan membahas si tukang kopi yang langka
tadi dan planning besok kembali
bereksplorasi dengan sisa uang yang kami miliki. Sepulang dari kawasan monas
kami melewati sebuah ATM, entah apa yang ada dalam benak saya ketika itu iseng
untuk masuk ke ATM untuk liat saldo walau beberapa minggu lalu saya udah tarik
habis uang di rekening dan prediksi saya sisa saldo kurang dari seratus ribu
rupiah. Dan alangkan terkejutnya saya ketika itu saldo di ATM ada limaratus
ribu. Kaget tak percaya dengan apa yang telah terjadi dan tanpa pikir panjang
saya langsung tarik uang yang ada di rekening tersebut. Bersama dengan teman
saya sempat berpikir siapa yang mengirimkan uang tersebut sementara hari ini
tidak ada yang menjanjikan untuk mentransfer uang. Esoknya kami mencoba
berusaha mencari tambahan ongkos dan alhamdulilah akhirnya ada juga salah satu
anggota dewan di DPR RI yang memberikan bantuan kapulangan tiket kepada kami.
Tak lepas-lepasnya pada hari itu kami bersyukur karena atas apa yang kami
dapatkan hari itu, yang seakan hampir putus asa dan tak tau harus berbuat apa.
Setidaknya pelajaran dari tukang kopi di monas tadi memberikan kami pelajaran
dan balasan rejeki tentang bagaimana kita mensyukuri atas apa yang kita
dapatkan. Semoga kisah inspiratif yang diangkat dari pengalaman pribadi ini
menjadi bermanfaat kepada kita semua
tentang bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang. (perdana oi ben’s)