blog edit

Selasa, 13 Agustus 2019

Melacak Jalan Mantan Aktivis Mahasiswa Lepas Kuliah



~ Hidup mahasiswa! Pekikan lantang ini biasa digaungkan dari kakak kakak senior diera perkenalan mahasiswa baru saat mereka tampil heroik dengan latar belakang wawasannya dihadapan cama.

Itu, diantara mereka ada paling vokal. Punya kharisma biasa di luar, berwawasan luas. Menguasai panggung. Biasanya jumlah mereka tak banyak. Minoritas. Pemekik anti kemapanan. Bacaannya berhaluan kiri. Hapal luar kepala teori teori Karl Max, punya buku buku teori revolusi berhaluan komunis semisal Fidel Castro atau Che Guevara.

Kelompok ini paling laik disebut aktivis mahasiswa. Biasanya lahir dari eksistensi organisasi ekstra kampus yang diturunkan oleh seniornya terdahulu dijadikan panutan.

Barang tentu debat debat table tiap hari jadi santapan manalaka mendiskusikan hal hal kecil diluar sudut pandang orang kebanyakan. Itu kelebihan mereka dan iklim yang harus tetap diciptakan. Penyandang label aktivis mahasiswa terbiasa menciptakan nalar pikir diluar sudut pandang orang biasa. Panggung aspirasi mereka lewat demonstrasi turun jalan. Tak hanya pemikir, aktivis kampus juga lihai berorasi bebas. Menyampaikan isi kepalanya lewat megaphone ala ala demonstran reformasi.



Demokrasi dalam kampus jadi panggung yang dinanti. Perebutan pucuk pimpinan ketua diberbagai lini jadi pertaruhan jurus untuk adu kekuatan otak, stategi, nasib hingga anggar keras tegang otot leher. Biasanya selalu dibimbing abang abang senior dari luar arena.

Dialetika dan jalan hidup mereka dalam kampus sepertinya terlalu rumit dan selalu rumit bahkan terkesan dicipta ciptakan. Tapi banyak sekali yang menikmati proses ini. Karenanya tak jarang kebanyakan (mungkin) penyelesaian tugas akademiknya melebihi jumlah semester yang disiapkan. Bisa 10 - 12 bahkan 14 semester malah.

Entahkn terlmpau menikmati proses, golongan cukup dimaklumi untuk bisa tamat dari kampusnya. Penyusunan skripsi yang menjadi rintangan akhir selalu menjadi rentang waktu yang panjang. Banyak yang berleha leha untuk mengejar wisuda. Sebagahian kecil (mungkin) bagi aktivis entah mengapa begitu menikmati proses ini ketimbang mengejar gelar akademik sarjana.

Haha... tidak semudah itu ferguso !

Sebagaian besar aktivis tahu persis situasi ini. Oke, anggaplah proses rumit tadi akhirnya menamatkan mereka. Tamat kuliah. Lalu kemana kita ? (Mereka)?

Enggak. Sekali lagi golongan ini anti kemapaman. Oke?!.

Sedikit sekali bahkan jarang kelompok ini melirik peluang sebagai abdi negara dalam korps pegawai ngerii. Lalu ?

Bukan mentang mentang fresh graduate dengan lampiran CV di pengalaman organisasi yang lebih panjang dari riwayat daftar hidup mereka bisa melanggeng kerja di perusahaan ternama, dan minta digaji Rp 8 juta sebulan. Eh?!

Biasanya ya. Ini biasanya - HRD yang membaca CV CV mentereng tadi akan lebih mempertimbangkan mantan pentolan aktivis mahasiswa ini untuk bergabung di perusahaan mereka. Pikir radikalnya sekali lagi bisa jadi ancaman merusak sendi sendi organisasi perusahaan. Heuheu...

Oke kemana mantan aktivis ini lagi ? Ada yang lebih memilih menjaga idealisnya. Merawat nalar pikir dengan mengejar atau melanjutkan pendidikan jalur bea siswa dengan segala peluang yang ada. Kuliah lanjut S2, bisa jadi tenaga pengajar di kampus atau sekolah.

Atau ada juga yang malah terlanjur berkiblat pada satu dua senior yang boleh dianggap jadi panutan.

Ada senior punya kantor dan berserikat Law Office maka pandai pandailah tangkap peluang disana. Bantu bantu selesaikan perkara atau menambah perkaranya.

Misal punya senior yang sukses di Politisi pelan pelan ikut rekam terbang jejaknya. Maju dalam kontestasi politik. Jadi caleg dengan harapan bisa melanjutkan perjuangan suara suara kaum marjinal terpinggirkan. Slogan anti kemapaman lagi lagi dipekikkan. Sukur sukur bisa maju dipilih rakyat.

Yang hobi nulis jadi Jurnalis bisa jadi jalan aktivis selanjutnya. Ideologi perjuangannya hampir- hampir mirip. Sama sama punya slogan anti kemapaman dan perjuangan marjinal. Itu kalau belum dimasuki kepentingan pemilik dan pengaruh independensi media. Kadang kadang bisa bikin goyang juga. Oke bisa jadi dianggap bertentangan dengan falsafah aktivis itu sendiri.

Ada yang keluar dan akhirnya bikin media sendiri. Kemudahan interaksi digital dijaman revolusi dunia 4.0 ini membuat media gampang gampang enteng. Tinggal lobi pemodal, bereskan ijin sana sini, siapkan platfrom medianya dan jadi. Bisa berjuang sesuai naluri dan kreasi sendiri.

Banyak juga yang gak kemana mana tapi ada dimana mana kok. Misalnya tetap menjaga konsistensi pikir dan falsafah anti kemapaman tadi di sosial media. Rajin pidato dan ceramah membakar dihadapan junior dalam berbagai kesempatan orientasi perkaderan. Mereka masih tetap hidup dan ada.

Ada lagi yang boleh melacak kehidupan para mantan aktivis mahasiswa selepas mereka kuliah. Hidupnya memang begitu. Rumit nan berat. Dimana lapak ngopi kita? Heuheu... //

- Perdana Ramadhan -

13 Agustus 2019 - di siang nan terik pinggir paret busuk. //

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best CD Rates